2. Kandas

156 36 13
                                    

Seniman. Itu masih saja rendah di mata keluarga Keraton Linggapuri. Selagi bukan darah biru, maka ia tidak pantas bersanding dengan Niskala Acalapati. Tarangga hanyalah seorang seniman. Dalang yang menguasai cerita wayang, sekaligus bisa memainkan semua gamelan Jawa. Bukan seorang pangeran.

Cinta mereka belum terhapuskan, hanya disisihkan sebisanya. Waduk di netra gadis cantik itu tak dapat dibendung lagi ketika mendengar bahwa Tarangga akan segera menikah memenuhi wasiat biyungnya. Sebulan telah berlalu sejak Biyung wafat.

"Raden Ayu, jangan menangis terus. Bedaknya luntur lagi," kata Mbok Inah.

"Mas Rangga meninggalkanku, Mbok," ratap Niskala.

"Cup-cup. Nanti kalau Gusti Prabu tahu, Raden Ayu bisa kena pukul lagi."

"Kenapa Ayahanda dan Ibunda menyiksaku sebegini dalamnya?" Ia tidak mampu menyaksikan pernikahan pujaan hatinya. Hatinya nyeri, harapannya pupus. Kecewa.

Rasa benci kepada Siwi menghampiri, menimbulkan niat buruk yang paling nekat. Siwi tidak lebih cantik daripadanya, tentu saja. Namun, hal apa yang membuat Tarangga lebih memilih Siwi? Kebaikan? Tapi Niskala pun bersikap baik kepada Tarangga. Matanya sembap, berat dan ingin terkatup. Mbok Inah membaringkannya, kemudian menghapus air mata yang membentuk anak sungai di pipinya. "Raden Ayu istirahat saja, tidak perlu ikut ngurmati nganten."

"Terima kasih, Mbok."

💮

Kabar itu kembali menggores sanubarinya. Tiga hari telah berlalu sejak pernikahan Tarangga dan Siwi. Kini, kabarnya Tarangga berhenti menjadi dalang di keraton. Kebencian Niskala terhadap Siwi memuncak. Ia yakin jika Siwi-lah yang melarang Tarangga mendalang di keraton. Ia pun berang kepada Tarangga, lelaki pengecut yang menaruh bubuk cinta pada hatinya. Namun, kebencian pada Tarangga itu hanya sebentar. Tak dapat dipungkiri, cintanya lebih besar dari benci.

Ia menjadi budak cinta. Masih mengharapkan Tarangga menjemputnya dan memeluknya. Itu hanyalah angan-angan belaka. Ia biarkan halusinasinya liar terhadap Tarangga. Membayangkan dirinya dan pemuda itu hidup satu atap di rumah sederhana, hidup selayaknya masyarakat biasa.

"Raden Ayu, sudah waktunya ke sanggar." Ucapan Mbok Inah membuyarkan imajinasi indahnya.

Menegakkan bahu, gadis itu melangkah anggun melewati ambang pintu dengan Mbok Inah di belakangnya. Menuju sanggar yang kini tiada lagi hadir Sang Dalang.

Tembang Lali Janjine ia alunkan dengan suara bergetar menahan tangis yang semakin membuncah. Air dari nun⁷-nya akhirnya menetes disertai isakan kecil. Para niyaga berhenti menabuh, menatap khawatir sang putri. Sedangkan Mbok Inah dengan cekatan mengiring Niskala keluar bangsal menuju kamar Sang Putri. Para niyaga berbisik-bisik dan bertanya-tanya. Seorang penabuh peking berucap, "Lali Janjine mengingatkan Raden Ayu akan Mas Tarangga."

Penabuh gamelan lainnya menatapnya dengan mendelik. "Apa yang kau ketahui tentang mereka?"

Si penabuh kendang mengangkat tangan, memberi isyarat agar menutup mulut. Sebagai yang tertua, ia dihormati niyaga lain. Mereka membubarkan diri karena menghormati Raden Ayu yang masih terluka jika mendengar irama gamelan.

Di dalam peraduan, Mbok Inah berlalu dengan jalan jongkok meninggalkan Raden Ajeng dan Raden Ayu. Salah satu filosofi yang dipegang teguh para abdi dalem adalah aja dumeh, sebuah filosofi kehidupan orang Jawa yang mengajarkan selalu bersikap rendah hati dan tidak sok atau sombong.

"Menangis hanya memperburuk suasana," kata Raden Ajeng Dayinta Cokro, Ibunda Raden Ayu Niskala. Ia memeluk putri semata wayangnya sembari sesekali mengecup ubun-ubunnya.

"Saya tidak kuat lagi, Ibunda. Mengapa Ayahanda melarang cinta saya dengan Mas Rangga?" ratap Niskala pilu.

"Ayahanda hanya menaati tradisi leluhur. Bahwasanya kelak keturunanmu berdarah biru murni."

"Apa gunanya saya menghasilkan keturunan tanpa cinta?"

"Jangan bicara seperti itu! Jangan sampai Dewa yang lewat mendengarnya."

Bendungan Niskala terus merembes melalui pipinya. "Jadi, selama ini Ibunda dan Ayahanda tahu perasaan saya?"

"Nun-mu tidak bisa berbohong. Ibunda pun tahu Tarangga mencintaimu. Hanya saja, kehormatan keluarga ini akan tercoreng jika kalian membentuk hubungan."

Niskala merintih, tubuhnya merosot sempurna pada ibundanya. Cinta seperti racun, membuatnya kehilangan kewarasan. Membuatnya pusing tujuh keliling.

"Tegakkan badanmu, Acalapati." Netra Raden Ajeng Dayinta berkaca-kaca.

"Saya sudah lelah melakukan itu, Ibunda. Saya akan lebih baik setelah menguras air mata ini, mungkin." Niskala memejamkan mata di atas paha ibundanya, menjadikan pangkuan itu sebagai bantal yang telah lama tak dirasakannya.

💮

Tarangga belum juga terpejam. Api pada lampu damar meliuk-liuk. Gemercik hujan mengisi keheningan malam yang dingin. Sejak beberapa jam lalu, ia hanya telentang dengan salah satu lengan sebagai bantal. Ia lirik Siwi yang tengah memeluknya. Perempuan itu tidur dengan senyum tipis terpatri di bibir. Sejauh ini, Tarangga telah mengenal Siwi Suryandari. Perempuan itu dengan baik mengurus rumah tangga, sepenuhnya mengabdi pada suami. Tarangga merasa bersalah karena gagal mencintainya.

Ia berhenti mendalang di keraton karena keinginannya sendiri. Ia tidak ingin cintanya pada Niskala bertambah. Ia kini telah memiliki istri yang bisa melayaninya tanpa menghiraukan derajat. Kini, pekerjaan Tarangga hanya mengajar karawitan di beberapa sekolah dan sanggar seni. Rumahnya hanya diisi dirinya dan istrinya, membuat hampir setiap saat diselimuti kesunyian. Tarangga ingin memiliki anak, untuk mengisi kesunyian rumah itu sekaligus menjadi tonggak rumah tangganya tetap tegak. Namun, beberapa hari ini Siwi tidak bersedia melayaninya karena setiap kali bercinta, selalu nama Niskala yang disebut Tarangga.

Siwi menunggu sampai Tarangga menempatkannya pada hati pemuda itu. Ia ingin dicintai. Ia ingin suaminya itu sadar bahwa dirinyalah yang selalu ada di sisi pemuda itu, bukan Raden Ayu, gadis keraton terkenal angkuh walau anggun. Tarangga jatuh cinta pada Niskala hanya karena kecantikannya, Siwi yakin itu. Maka, Siwi harus menunjukkan sikap yang membuat Tarangga bahagia. Hanya itu yang bisa ia berikan karena dirinya tidak mampu menandingi kecantikan Sang Raden Ayu.

Malam itu, Siwi kembali membuka dirinya untuk disentuh suaminya. Siwi tahu, lamunan Tarangga itu ditujukan untuk Niskala. Ia mengalihkan pikirannya dengan sentuhan feminin di bagian tubuh yang mudah terangsang.
_______

⁷ Mata.

WikramaWhere stories live. Discover now