19. Kala

70 21 2
                                    

Wisesa di-dawuh⁵⁴ untuk rawuh⁵⁵ ke keraton. Suasana keraton tidak lagi kalut dan awut-awutan. Semua yang ada di keraton itu memakai sandang hitam tanda berkabung. Tidak ada kericuhan abdi yang lalu lalang mempersiapkan resepsi, tetapi menyiapkan keperluan upacara sebelum mendiang Gusti Prabu diperabukan. Semua menyimpang dari rencana. Kanjeng Ratu menghambur kepada Wisesa, tak kuasa membendung air mata yang sebenarnya telah kering. Wisesa hanya mampu mengatakan kalimat positif untuk menyemangati calon mertua. Dipandanginya Niskala yang bersimpuh dengan tatapan kosong dan mata bendul⁵⁶. Ingin ia menolong Niskala yang merana itu. Ingin ia angkat beban gadis keraton itu jika bisa.

Selesai upacara kematian, kegiatan keraton terpaksa ditunda. Persiapan mantenan⁵⁷ Wisesa dan Niskala pun urung dilanjut karena tanggal pernikahan dan resepsi diatur ulang. Keluarga Niskala masih berkabung, juga pihak itu harus menjelaskan kondisi Niskala yang tengah berbadan dua kepada pihak Wisesa.

Dua keluarga yang hampir menyatu sedang duduk di sebuah ruangan bercat emas. Niskala menggenggam tangan ibundanya erat-erat. Di seberang mereka, Wisesa menyorot dengan mata telanjur serius bersama ibu-bapaknya. Abdi dalem kepercayaan Gusti Prabu, Amin membuka percakapan setelah merangkai kalimat yang sesuai di kepala.

Pria sepuh itu menghela napas, menunduk sebentar. "Saya di sini ingin mendapat keputusan dari Ki Wiji, Nyi Darsiah, serta Den Wisesa perihal pernikahan Den Wisesa dengan Raden Ayu Kaniraras Niskala Acalapati."

"Kami benar-benar serius meminang Raden Ayu Kaniraras Niskala Acalapati. Kami akan bersabar menunggu waktu yang tepat setelah waktu berkabung ini," jawab Ki Wiji.

"Bukan itu permasalahannya. Raden Ayu tengah mengandung."

Semua terdiam tanpa berkedip barang sejenak. Niskala tertunduk malu dan Raden Ajeng Dayinta Cokro menghindari bertubruk tatap dengan siapa pun. Setelah beberapa menit berselang, mulut Wisesa terbuka dan netranya memandang Niskala dengan hina. Duduk lelaki itu gelisah, ingin segera beranjak tetapi masih ingat tata krama.

"Anak siapa yang kau kandung?" Kata-katanya penuh tekanan.

"Raden Ayu belum siap memberi tahu."

Wajah Wisesa memerah, orang tuanya pun ikut menatap Niskala dengan pandangan mencela. Sebelum mereka mendesak dengan pertanyaan yang sama, Niskala terlebih dahulu berkata, "Mas Tarangga-lah darah daging anak ini. Jadi, masihkah kalian menerima perempuan jalang ini?! Teruslah tatap aku dan hina aku! Aku memang putri keraton jalang! Aku memang biangnya malu!”

Semua terdiam. Berkelana di buah pikir masing-masing sampai mereka menyadari tangan Niskala telah menekan kuat perutnya. Ibundanya menarik paksa tangan itu, tetapi Niskala mendadak punya energi melebihi batas kewajaran. Ia terus menekan dan meremas perut datar berisi janinnya sambil meraung-raung. Amin dan keluarga Ki Wiji berupaya menghentikan aksi itu hingga Niskala melemah.

"Dosaku terlalu banyak ... Bebanku terlalu berat ... Batalkan saja pernikahan ini! Tinggalkan aku sendiri!" ratapnya.

"Tidak, Kala! Aku akan teguh pada pendirian. Aku tak peduli bahwa itu bukan anakku. Yang penting kau jadi sigaraning nyawa-ku karena aku sudah mengagumimu sejak lama," ungkap Wisesa tergesa-gesa, khawatir Niskala melakukan hal gila lagi.

"Aku tidak butuh orang yang tidak tulus, Mas Wisesa. Aku tahu tatapanmu padaku."

"Leres⁵⁸, bahwa aku tadinya kecewa, tapi perasaan tresna-ku⁵⁹ jauh lebih besar, Kala. Aku ingin kau berbagi beban denganku."

Maka setelah membahas secara matang, kedua pihak keluarga itu akan tetap melangsungkan pernikahan pada hari Kamis Legi dua bulan kemudian.

💮

"Kala, mengapa wajahmu selalu tertekuk? Salahkah jika aku mengharapkan secuil senyumanmu?"

Gemercik hujan mengiringi pertanyaan itu. Niskala hanya diam sembari terus menyulam. Tangannya lihai memainkan benang dan jarum hingga membentuk motif bunga kemboja. Wisesa tetap kekeh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia terus menatap istrinya sampai perempuan ayu nan kurus itu menyerah.

"Kangmas, pangapunten⁶⁰. Saya tidak suka dengan panggilan darimu." Atensi Niskala beralih pada netra gelap Wisesa.

"Karena artinya? Nimas, Kala tidak selalu berarti ala atau jelek," ujar Wisesa.

"Bukan. Panggilan darimu itu hanya mengingatkanku pada Kalamarica."

"Kalamarica yang menyamar sebagai kidang kencana demi menarik perhatian Shinta?"

"Ya. Kalamarica hanya menyadarkanku bahwa nasibnya mirip dengan nasib yang sedang kugandrungi."

Wisesa memajukan badannya, pertanda ia tertarik dengan pembicaraan itu. Ia memaksa dengan halus supaya Niskala mau menceritakan kegundahan hatinya dan masalah yang lain. Dalang itu memang pintar merangkai kalimat hingga Niskala menyerah dan mencurahkan isi hatinya. Diam-diam ia membandingkan Tarangga dan suaminya itu. Kepekaan mereka berbeda, tentu saja. Jika ia mengatakan hal itu pada Tarangga, pasti pemuda itu tak banyak bertanya dan tahu dengan sendirinya.

"Kalamarica itu sudah tua. Dia berbuat jahat mengelabui Rama dan Shinta atas desakan Rahwana. Sebetulnya dia tidak bersedia melakukan kejahatan itu, kan?"

Wisesa mangut-mangut, masih menunggu kelanjutannya.

"Aku pun sudah tua di mata Romo dan Ibunda ..." Niskala urung melengkapi perkataannya secara gamblang. Ia menggantung kalimat itu dan meneruskannya dalam hati, aku menikah denganmu pun atas desakan dan ketidaksediaanku.

"Aku pun teringat dengan sosok Sarpakenaka. Raseksi itu ditolak oleh Rama dan Laksmana yang disukainya. Hanya demi melindungi sosok Shinta, kedua satria tampan itu sampai melukai hidung Sarpakenaka. Ya ... memang itu karma untuk raseksi yang suka menggoda milik orang lain." Kalimat itu ditujukan untuk dirinya sendiri yang bernasib miris seperti Sarpakenaka.

Pada akhirnya ia ditolak oleh Tarangga, sang pujaan hati yang kini lebih mengelu-elukan garwa kinasih satu-satunya. Niskala tidak tahu apakah ini karma untuk dirinya karena ia senantiasa mendekati suami orang? Ia hanya mempertahankan perasaan murninya yang terlebih dahulu hadir daripada Siwi. Jadi, siapa yang merebut milik siapa?

Tetap saja Niskala yang dianggap salah. Cinta tak selalu benar sedangkan hubungan yang sah tak bisa dianggap salah. Niskala kerap merenungi nasibnya yang tak pernah mujur. Mengapa harus dirinya? Salah apa ia dahulu hingga kini mendapat kesialan? Tuhan memang bisa seenaknya sendiri karena Ia memang Tuhan.
_______

⁵⁴ Panggilan.

⁵⁵ Datang.

⁵⁶ Sembap.

⁵⁷ Pernikahan.

⁵⁸ Benar.

⁵⁹ Cintaku.

⁶⁰ Maaf.

WikramaWhere stories live. Discover now