9. Musibah

101 24 2
                                    

"Mbak Yu kok kayaknya gelisah, tah?" Damar datang membawa dua cangkir teh hangat.

"Aduh, Mar! Aku khawatir pesawat yang ditumpaki Mas Arang jatuh," ceracau Siwi, memijat kepalanya.

"Jangan ngaco, berdoa tuh yang baik buat Mas Arang. Jangan mikir yang enggak-enggak."

"Bukan itu saja, Mar. Aku khawatir cinta Mas Arang sama Raden Ayu Niskala bersemi lagi."

Untuk yang satu itu, Damar tak berani menanggapi. Memang hampir seluruh kadipaten telah tahu sesuatu di antara putri keraton dan sang dalang. Dan Siwi lah yang kemudian dipandang buruk.

"Mbak Yu, bagaimana kalau kita keliling kompleks? Mumpung mendung-mendung sejuk seperti ini."

"Boleh. Ontelnya ada di sebelah kandang jalak."

Udara pagi mereka hirup di sepanjang jalanan lengang. Bagi orang asing, mereka tampak seperti dua sejoli yang sedang kasmaran. Damar tersenyum menyadari kegelisahan kakaknya telah teralih oleh pemandangan desa yang masih asri itu. Mereka memutuskan untuk berkunjung ke rumah orang tua mereka karena tiba-tiba Siwi ingin mencium punggung tangan ibu dan bapaknya.

Ketika mereka tiba di sana, Ibu sedang nglorod—membuang malam yang sudah tidak diperlukan lagi dari kain agar motif batik terlihat. Beberapa buruhnya juga sedang mengerjakan bagian membatiknya masing-masing.

"Assalamualaikum," ucap Siwi. Ibu langsung beranjak dari dingklik-nya, mendekap putri sulungnya yang dikabarkan jarang diberi nafkah suami.

"Aduh Ndhuk, nelangsa sekali kamu ini sampai kurus tinggal tulang."

"Tidak kok, Buk. Siwi bahagia apalagi ada cucu Ibu yang masih terlelap di sini." Siwi mengelus perut ratanya, membuat sang ibunda bahagia bukan kepalang hingga hampir roboh.

💮

Siwi dan Damar sudah kembali ke rumah Tarangga ketika matahari kian beranjak. Bapak mereka sedang berada di ladang, tak mungkin menunggu kembali hingga senja. Lagi pula, Ibu sedang sibuk membatik.

Damar mengamati dua tanaman kenanga di halaman yang harum semerbak sebelum berucap, "Mas Arang itu orangnya filosofis sekali."

Siwi menoleh, urung masuk ke dalam. Ia duduk di kursi rotan. "Kok bisa?"

"Kenanga, kenaag-en ing angga maknanya agar anak zaman sekarang selalu mengenal warisan leluhur yang berupa tradisi, kesenian, budaya, filsafat."

"Tidak heran, sih."

"Selain kenanga, Mas Arang juga menanam bambu kuning, yang katanya bisa memudahkan rezeki. Melati simbol kesucian juga ada."

"Mas Arang memang misterius. Aku sebagai istrinya saja tidak tahu banyak tentangnya."

Siang hari, mereka habiskan dengan leyeh-leyeh sambil memandang burung gereja yang sesekali mampir di halaman. Rumah dari bata merah itu minimalis tetapi tampak nyaman. Letaknya di pinggir jalan setapak. Halamannya senantiasa wangi oleh bunga-bungaan. Terdapat kebun yang menjadi jarak dengan rumah tetangga.

Gerimis turun, membawa petrikor yang menenangkan. Suaranya entah kenapa bisa membangkitkan memori masa lalu.

Damar mengajak Siwi untuk masuk karena perempuan itu sudah bangkongen, merinding kedinginan.

Mereka berbaring di kamar terpisah sebelum bertualang di mimpi masing-masing. Siwi menangis sambil melantur di tengah tidurnya yang segera dibangunkan Damar.

"Mar, bagaimana kalau Mas Arang dan Raden Ayu berpelukan kemudian pesawatnya benar-benar nyemplung ke segara?!" Siwi masih setengah sadar, nyawanya belum semua terkumpul. Ia kemudian mencengkeram perutnya kesakitan. Damar memaksa Siwi untuk bersedia ke klinik, tetapi Siwi terus menolak dan lebih memilih menyuruh adiknya untuk membungkus abu dari tungku dengan kain kemudian bungkusan itu ditempel-tempelkan di perut Siwi yang terdapat jabang bayi.

"Mbak Yu ini ketinggalan zaman sekali. Lebih baik ke klinik supaya dapat obat dan keterangan. Kasihan calon ponakanku."

"Diam kamu! Selama ini aku tidak jadi diri sendiri. Di depan Mas Arang, aku berusaha jadi seperti wanita lain. Modern, keibuan, serius, lemah lembut." Di saat seperti itu, Siwi masih sempat melantur.

Damar hanya bisa menghela napas. Ia tahu kakaknya itu petakilan dan menyukai sesuatu yang berbau tradisi sekalipun kolot. Setelah beberapa menit berlalu, barulah Siwi bisa terlelap kembali. Damar meletakkan bungkusan abu itu di nakas dan ia memandang kakak tercintanya dengan iba. Kakaknya yang ayu itu tampak kurus seperti tidak pernah bahagia. Ia tahu kakaknya menyukai Tarangga sejak remaja dan kini tercapai dengan bersatunya mereka dalam ikatan pernikahan. Namun, entah Tarangga mencintai Siwi atau tidak karena kabar angin mewartakan sang dalang dan putri keraton saling mencintai. Damar iba pada kakaknya yang sering digosipkan merebut kekasih sang putri.

Padahal ia bersaksi ketika Tarangga datang ke kediamannya untuk melamar Siwi setelah beberapa bulan berkabung.

Ia enggan beranjak. Khawatir kakaknya kesakitan lagi. Ia pun tiduran di lantai beralaskan karpet tipis sebelum terlelap jua.

💮

"Mar, kok mendung, ya?" Siwi menyembulkan kepalanya di jendela dapur.

"Iya, Mbak Yu. Syukur, sudah masuk musim penghujan."

"Kamu mau ke warung? Garam sudah hampir habis."

"Mau asal ada arta³¹-nya."

Siwi memberikan kepingan koin pada adik bujangnya itu, yang segera mengambil payung kemudian menerjang rintik gerimis yang semakin deras dengan jalan kaki. Entah kenapa pagi itu Siwi merasa ting greges, tidak enak badan. Mungkin akan ada hal buruk terjadi. Ia terus mendoakan keselamatan suaminya dan rombongan.

Ia tuangkan air putih dari cerek aluminium ke gelas plastik, tetapi sebelum menegaknya, seorang wanita basah kuyup mengetuk pintu.

"Ndhuk Cah Ayu, izinkan aku masuk."

Siwi mempersilakannya dengan ramah. Ia pinjamkan handuk dan menyuguhkan teh untuk wanita paruh baya itu. Kebaya kuning dan jariknya yang telah basah menempel di kulitnya. Wanita itu merapatkan handuk dan menyeruput teh dengan nikmat sebelum membangun basa-basi dengan Siwi.

Hingga basa-basinya menjadi serius. "Sebenarnya aku ini dukun pijat utusan keraton, atas permintaan Mas Tarangga untuk melayani Ndhuk Siwi."

Siwi heran sekaligus kebingungan. Namun, karena tersebut nama Tarangga dan keraton yang dirasa tak perlu dicurigai, Siwi bersedia dipijat di dalam kamar.

Di tengah nikmatnya pijatan, wanita yang menyebutkan dirinya Ni Puri itu mengurut keras perut Siwi. Perempuan berbadan dua itu berontak kesakitan. Ia menggeliat, berusaha melepaskan diri. Samar, ia mendengar suara Damar dari ambang pintu.

Ia belum sempat memanggil Damar ketika sekali urut dari Ni Puri, jabang bayi yang masih berupa gumpalan darah itu keluar. Siwi pendarahan hebat kemudian tak sadarkan diri.

Ni Puri segera kabur melewati pintu dapur yang langsung menuju ke kebun jagung. Damar menjatuhkan dua bungkus garam yang ditentengnya ketika melihat keadaan Siwi yang bersimbah darah.

Dengan tremor dan kesadaran tinggal separuh, ia bopong mbak yu-nya itu ke rumah sakit. Tak peduli darah ikut merembes ke pakaiannya.
_____

³¹ Uang.

WikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang