22. Panutup

122 22 6
                                    

Kabar mangkatnya Raden Ayu menggegerkan hampir semua kawula. Pasalnya, baru kemarin ia tampak di media sedang membopong putranya saat Upacara Tedhak Siti. Putri nan senantiasa jelita itu tampak sehat dengan wajah merona. Aku tidak menyangka sama sekali bahwa kini ia telah tiada.

Di atas peraduan, suamiku itu linglung gelagatnya. Aku tahu, ia sangat sedih dan menyayangkan kematian pujaan hatinya itu. Aku tahu ia menahan tangis karena malu padaku. Mas Arang akhirnya tak dapat mencegah perasaannya untuk membludak.

"Mengapa ia pergi secepat ini ..." Ia meratap dengan lirih, langsung kuusap punggung lebarnya. "Aku belum sempat njaluk ngapura padanya."

"Sudahlah, Mas. Kasihan Raden Ayu jika kamu menyesalinya seperti ini. Ikhlaskan dia supaya dia tenang. Ini sudah takdir, Mas," tuturku mencoba menenangkan, tetapi Mas Arang justru semakin tersedu.

Tangisannya memaksaku untuk ikut menumpahkan air mata. Raden Ayu memang sempat kuanggap sebagai batu yang mengganggu langkahku bersama Mas Arang, dan aku menyesal dengan itu. Aku pernah memandang Raden Ayu Niskala dengan tatapan menghina. Aku memiliki banyak kesalahan terhadapnya, dan tak ada kesempatan bagi diriku untuk meminta maaf.

Penyebab kematiannya menjadi misteri bagi kami rakyat kecil. Entah sakit, dibunuh, atau apa pun itu, aku tidak tahu. Nasib Keraton Linggapuri di ambang batas. Seperti tersentuh kutukan, konflik selalu menyambangi keraton itu. Entah bagaimana Prabu Wisesa akan menghadapi nasib ini tanpa permaisurinya.

Sebenarnya aku cemburu dengan sikap Mas Arang yang begitu kehilangan atas mangkatnya Raden Ayu. Ia menunjukkan bahwa di hatinya masih terselip-atau bahkan tertanam subur seorang Raden Ayu Kaniraras Niskala Acalapati yang begitu jelita. Namun, aku tak bisa memaksa Mas Arang untuk melakukan apa yang aku mau. Tugasku hanya menjadi istrinya dan mengabdi padanya.

"Siwi, maukah kau menemaniku ke keraton?"

Pertanyaannya membuatku membelalak tak setuju. "Untuk apa? Kita harusnya malu, Mas atas kejadian di masa lalu."

"Aku ingin menemui putraku sendiri. Darah dagingku."

"Apa maksudmu ... Raden Mas Taraka Prasajakencana?" Anggukan darinya sanggup membuat mulutku ternganga sambil melebarkan mata yang kian memanas. "Bagaimana jika keluarga keraton tahu, Mas? Kenapa kau berzina dengan pihak yang begitu agung?"

"Mereka sudah mengetahuinya, Siwi. Kabar itu tersiar di lingkup keraton sebelum wafatnya Kanjeng Prabu."

Aku hanya sanggup menggelengkan kepala. Tubuhku terasa lebih berat, tapi kutegarkan diri yang selalu dikhianati ini. Aku sudah terbiasa. Fakta ini tak jauh lebih berat ketimbang dulu ketika Mas Arang sering mengabaikanku dan memilih semalaman tak pulang. Jika benar sang putra mahkota adalah anak kandung Mas Arang, biarkan. Memangnya sekarang aku bisa apa?

"Bukannya aku menghalang-halangi. Namun, keraton sedang berkabung dan rasanya kita kurang sopan datang ke sana hanya untuk bertemu Raden Taraka."

"Kau benar. Pikiranku akhir-akhir ini sedang kacau. Makanya sering merencanakan hal yang akan memalukan diri sendiri."

"Aku bersedia mendengar keluh-kesahmu, jika kau ingin berbagi."

"Aku sering diundang datang ke acara pakeliran dalang lain—teman-temanku dulu di SMKI. Mereka bisa kuacungi jempol berlipat-lipat ganda. Dan aku merasa kecil karena mereka lebih hebat daripadaku. Sekarang pun, aku jarang ditanggap."

"Tak apa, Mas. Dulu kau pernah berjaya sampai menjadi dalang keraton. Kejayaan tak ada yang amerta. Yang penting kita hidup ayem tentrem."

"Aku masih menyalahkan diriku di masa lalu. Aku tak bisa menahan nafsu hingga menyakiti hatimu, bahkan menyakiti hati Niskala. Aku tahu kejayaanku surut karena karma atas keburukanku sendiri."

Aku melihat penyesalan yang begitu dalam pada sorot Mas Arang. "Berdamailah dengan diri sendiri, Mas. Masa lalu tak bisa diulang atau diperbaiki. Tak ada gunanya jika terus dipikirkan. Jadikanlah sebagai pelajaran hidup."

Ia mengangguk dan mencium keningku penuh kasih. Aku tersenyum sendu, menyadari cintanya masih terbagi. Bahkan pada malam harinya, tatapan Mas Arang kerap kosong.

"Jangan terus menyesali kepulangan Raden Ayu, Mas. Nanti dia yang tersiksa. Cukup ikhlaskan saja. Semoga dia mendapat tempat terbaik di alam sana."

Mas Arang mengangguk dan menarikku dalam pelukannya.

💮

Tamat.

💮

WikramaWhere stories live. Discover now