13. Dilema

73 19 2
                                    

Perasaan menggelikanku kembali meletup. Dadaku terasa aneh sekaligus menyenangkan. Seminggu sekali aku bertemu pujaan hatiku sejak beberapa tahun terakhir.

Kutatap pantulan diriku di dalam cermin. Mbok Inah benar, aku lebih semringah dari biasanya. Kecantikanku tak lagi tertutup aura kelabu suram. Rangga memang membuatku gila. Aku masuk bangsal karawitan dengan langkah seelegan mungkin, merasa diperhatikan oleh Rangga. Netra kami bersirobok, menyiratkan perasaan rindu yang kami pendam.

Blangkon di murda-nya³⁸ sungguh menambah karismanya. Imba³⁹ yang tebal menukik selalu menjadi pusat ketampanannya, membuatku memaksanya untuk terus menatap hingga para niyaga berdeham dan menggoda. Aku melanjutkan langkah sambil merunduk, merasakan pangarasan⁴⁰ yang benter-panas tetapi menyenangkan.

Tembanganku memang selalu membuat Rangga terkesima. Aku tahu itu, netranya tak dapat berdusta apalagi kami sudah lama tak bersua. Kami berkali-kali mencuri pandang kemudian tersenyum malu-malu. Tak hanya ia yang terkesima. Aku pun merasakan hal sama setelah mendengarkan suaranya pada saat antawacana dengan suara beratnya yang khas.

Aku senang mengetahui ia masih memandangku seperti itu. Perasaan kami tidak terkupas oleh waktu dan status. Aku sejenak melupakan perbedaan agama dan kasta kami. Namun, sepintas bayangan Siwi Suryandari menggangguku. Perempuan itu sekarang milik Rangga. Walau aku ragu Rangga sendiri menyayangi apalagi mencintainya. Keraguan itu membuatku semakin leluasa memandang dalang itu.

Aku hanya ingin seperti ini. Memandangnya secara diam-diam hingga pandangan kami bertemu dan senyuman kami merekah. Itu saja.

💮

Tarangga tak mampu menguasai arah pandangnya terhadap sosok putri keraton yang sedang menjelma menjadi waranggana bersuara emas.

Dadanya berdebar. Kehangatan menjalar ke hampir seluruh tubuhnya. Senyum kecil tak mampu ditahan. Ia tahu perbuatan itu sungguh tak patut. Kurang ajar. Namun, pasuryan⁴¹ Niskala sungguh ayu nan sedap dipandang. Senyuman kecil yang tersungging manis tak mau ia sia-siakan.

Tanpa mereka sadari, masing-masing berandai jika keyakinan dan status mereka sama, mereka pasti bisa bersatu. Mereka sama-sama memendam rindu duduk sedekat itu. Sama-sama hanya mampu meluapkannya lewat sorot netra kemudian akan kembali fokus pada pakeliran dan tembangan.

Lembayung senja memudar. Tarangga menaiki ontelnya dengan perasaan berbunga. Ia kayuh lambat-lambat, mengulur waktu agar tak cepat sampai rumah. Ia enggan bertemu dengan Siwi, perempuan dapur yang kucel itu.

Ia sandarkan ontelnya di bawah pohon jamblang yang rindang. Tanpa bersuara, ia buka pintu.

"Latihannya sampai larut, Mas?" Ia pandangi Siwi yang sedang menyulam di kursi rotan, dekat jendela yang terbuka. Dadanya berdegup kencang seperti ketahuan mencuri.

"Kamu sedang apa? Kenapa belum tidur?" tanya Tarangga sambil sok sibuk membuka tas kulitnya.

"Baru berbincang dengan Sindhung yang minta dibuatkan sulaman teratai."

"Siapa Sindhung?" Pria tegap itu menghampiri sang istri.

Siwi mendongak, menatap tawang⁴² yang dihias sitoresmi⁴³, diikuti suaminya. "Sindhung, sapa bapakmu." Sepintas Tarangga mengira yang dimaksud Sindhung ialah bulan. Semilir angin membelai kulit mereka. "Jabang bayi kita, Mas. Sindhung. Angin."

Tarangga mendadak merinding ketika istrinya tersenyum. Istrinya pasti masih stres karena kehilangan anak.

Mengenyahkan rasa takut, ia tutup jendela dan merangkul istrinya menuju kamar. Namun, perlakuan Siwi malam itu membuatnya berada di puncak kebahagiaan. Melebihi kejadian di bangsal tadi.

Siwi melepas rangkulan itu, memindah lengan suaminya ke pinggangnya. Ia sentuh dada bidang itu dengan gairah membuncah.

Gelungnya yang terlepas menarik Tarangga supaya membalas kelakuan itu. Ia terkikik geli ketika Tarangga membawanya ke ranjang sebelum memulai aksinya.

Baru Tarangga sadari bahwa kamar mereka terdapat bunga melati dan kenanga yang aromanya berpadu dengan wangi tubuh istrinya.

💮

"Kenapa masak sepagi ini?" tanya Tarangga kemudian menguap.

"Mas berangkatnya pagi, kan?" tanya balik Siwi di sela-sela mengupas telur rebus.

"Seminggu sekali. Hari Kamis."

Siwi menepuk keningnya. Semakin bertambah usia, semakin tipis daya ingatnya. Ia meneruskan kegiatannya sambil terkekeh-kekeh. Hal itu membuat Tarangga heran, sebab biasanya Siwi murung dan jarang tertawa.

Siwi menghidangkan se-cething nasi, telur balado, dan cah kangkung. Tak lupa segelas air putih.

"Kenapa kamu bungah seperti itu?"

"Nanti mau ke rumah Ibu, mau membatik." Ia tersenyum pada pria yang mengenakan kaus hitam itu. Rambutnya berantakan dan lama tak dicukur. Tampan sekali suamiku ini.

"Damar ada di rumah?"

"Entahlah. Kesehariannya hanya ngiseni dan merumput."

"Damar bisa membatik?"

"Ahlinya."

Setelah berganti kebaya, ia berangkat ke rumah Ibu dengan suaminya menggunakan sepeda ontel. Anak rambut yang tak ikut tergelung diterbangkan oleh angin yang ia anggap sebagai Sindhung. Pegangan tangan Siwi pada perut Tarangga membuat pria itu sedikit geli sekaligus malu. Namun, ia senang dengan keceriaan istrinya yang jarang sekali timbul.

Keterdiaman mereka membuat pikiran Tarangga melanglangbuana memikirkan perasaannya yang sulit dipahami. Hatinya masih menggenggam Niskala, tetapi ia pun mulai senang menghadapi senyum cerah Siwi.

Perempuan itu sepertinya sudah melupakan kejadian nahas minggu lalu ketika bayinya gugur. Penyebabnya masih tak jelas karena tak pernah dikulik.

Ketika sampai di pekarangan yang penuh jemuran batik, Tarangga langsung dihujani tatapan tajam dari adik iparnya, Damar. Namun, tatapan itu melunak ketika mendapati Siwi yang masuk ke dalam rumah dengan riang. Damar pun mempersilakan Tarangga masuk ke ruang pembatikan. Ruangan itu terdiri dari Ibu, Siwi dan tiga pekerja. "Arang, lihat istrimu. Pandai sekali membentuk motif." Ibu berkata setelah meniup malam di cantingnya.

Tarangga menghampiri Siwi yang sedang ngerengreng, dengan terampilnya mengikuti gambar pola. Jari pucuking eri itu sungguh luwes memegang canting. Timbul rasa bangga dalam dirinya mendapati Siwi begitu cantik ketika membatik. Tak disadari selama ini, ketika setiap hari istrinya berkutat dengan tungku hingga membuat aroma tubuhnya sangit.

Hari ini, aroma sangit itu berganti dengan aroma malam yang menenangkan. Tarangga tak lagi mempunyai alasan untuk tak menyukai perempuan itu. Ia dilema. Perasaan terhadap istrinya mulai timbul, tetapi enggan meninggalkan rasa yang bersemayam lama terhadap sang putri keraton.
_______

³⁸ Kepala.

³⁹ Alis.

⁴⁰ Pipi.

⁴¹ Wajah.

⁴² Langit.

⁴³ Rembulan.

WikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang