14. Masih Bebal

76 19 1
                                    

Bukan wikrama Tarangga yang lemah, tetapi aura Niskala yang terlalu kuat. Raden Ayu itu begitu memikat. Mulai kini Tarangga harus hadir di keraton setiap hari kecuali Minggu.

Ketika istirahat, Tarangga menanyakan kepada Manggala apakah semua merasakan ketertarikan luar biasa terhadap Niskala. Manggala menggeleng, baginya Niskala sama seperti putri bangsawan lain. Berwibawa nan anggun, tetapi tak membuat hatinya kurang ajar untuk memiliki perasaan melebihi rasa kagum.

"Rangga, sadar. Istrimu menunggu di rumah. Jaga perasaannya."

Pesan Manggala tak diacuhkan, terkalahkan oleh perasaan yang membutakan dan menulikan. Tarangga banyak melamun, tetapi tak berpengaruh kepada kegiatan mendalangnya. Di sebelahnya, duduk manis Niskala dengan harum semerbak. Jarak mereka tak terlalu jauh, membuat Tarangga lebih leluasa melirik paras ayu Niskala yang juga curi pandang padanya.

Mereka tahu, perbuatan itu sungguh sebuah kesalahan. Tak seharusnya dalang memandang wanita dengan pandangan memuja selain kepada istrinya. Tak patut pula putri keraton melirik lawan jenis sebegitu liarnya. Mereka sudah keluar dari jati diri. Mereka pantas dihukum. Anehnya, para niyaga dan tetua yang hadir di bangsal itu diam saja seperti tak menyadari hal tersebut. Kediaman mereka membuat Tarangga semakin berani menemui Niskala. Apalagi Mbok Inah tidak menjaga sang putri seketat dulu.

"Rangga, kenapa kau tak langsung pulang bersama kami?" tanya Manggala suatu saat. Ia tidak suka perilaku sahabatnya yang telah menyimpang.

"Kamu jangan berkoar-koar, aku sering kali diajak Niskala ke taman pribadi," jawab Tarangga tanpa rasa malu.

Manggala geleng-geleng kepala, menyayangkan sahabatnya yang telah menjadi budak cinta. Ia kecewa dengan kelancangan dan ketidaktahudirian sahabatnya itu, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Toh, jika dinasihati, Tarangga sudah dibebali oleh yang namanya cinta.

💮

Selalu saja aku diselimuti kekhawatiran perihal suamiku yang pulang larut malam. Kudengar sanggar karawitan di keraton ditutup ketika senja, tetapi Mas Arang sampai di rumah terlalu larut, kadang sampai tengah malam. Kekhawatiran itu membuatku tiap Kamis berkunjung ke rumah Ibu untuk membatik dan mengalihkan pikiran. Aku ingin mencurahkan isi hatiku pada Ibu atau Damar, tapi aku tak mau mereka kecewa dan marah lagi kepada Mas Arang.

Aku berpraduga kalau Mas Arang memiliki hubungan gelap dengan perempuan lain, tapi dugaan itu hanya mengambang tanpa menemukan jawaban pasti sampai akhirnya ia tak pulang semalaman dan aku nekat menunggu di luar gerbang keraton dengan perasaan gundah tak keruan. Mendadak aku jadi cengeng, sebentar-sebentar menitikkan air mata.

Kutunggu dari siang sampai sore, mendengar alunan gamelan dan lantunan tembang dari sinden yang suaranya sungguh merdu. Samar-samar kudengar juga suara Mas Arang yang sedang berdialog antar wayang.

Anggota niyaga telah keluar melewati gerbang, aku menahan malu karena mereka menatapku keheranan. Salah satu sahabat Mas Arang yang kukenal segera kuajak bicara. "Mas Gala, boleh saya bertanya sesuatu?" Yang dibalas anggukan ramah darinya.

Kami berbincang serius di dalam warung kopi pinggir jalan. Ia tampak sungkan menjawab jujur pertanyaanku perihal Mas Arang. Suasana canggung tak membuatku menyerah mengorek informasi tentang kabar suamiku yang tak pulang semalaman. Hingga akhirnya Mas Gala menghela napas kemudian menjelaskan semuanya padaku. "Sebenarnya aku tak boleh mengatakan ini. Tapi aku pun tak mau menutupi kesalahan. Tarangga sering bersua dengan Gusti Niskala di taman pribadi. Entah apa yang mereka lakukan. Dia sudah kunasihati, tapi masih ngeyel."

Tidak perlu ditanya bagaimana perasaanku. Hancur sudah. Kecewa untuk yang kedua kalinya. Mas Gala yang melihat perubahan mimikku langsung menatapku gamang. Aku tersenyum kecut padanya sebelum berterima kasih dengan suara parau kemudian melangkahkan kaki. Tubuhku bergetar di sepanjang jalan. Air mataku merembes bersama isakan yang semakin menjadi-jadi.

Tak kuhiraukan orang yang terheran melihatku. Kubuka pagar dan pintu, kubaringkan badan di kasur yang beberapa malam lalu menjadi alas cintaku dan suamiku. Isakan mengisi kesunyian rumah. Sesekali cecak bersuara, seperti menertawakan kecengenganku. Setelah air mata terkuras habis, kupaksakan tubuh untuk ke dapur dan kamar mandi.

Menjahit sudah menjadi kebiasaanku saat malam hari setelah semua pekerjaan rumah beres sembari menunggu kepulangan Mas Arang. Sesekali aku membayangkan Sindhung hadir di hadapanku, sedang berbincang denganku.

"Bapakmu harus diberi pelajaran supaya eling. Ibumu nunggu di sini setiap malam, eh bapakmu malah enak-enak di keraton sama Gusti Putri," kataku kepada Sindhung.

"Bapak pasti suatu saat dapat akibatnya. Yang terpenting sekarang Sindhung menemani Ibu," jawab Sindhung, memeluk lututku.

"Bicara dengan siapa kamu?" Mas Arang melangkah melewati ambang pintu, bersamaan Sindhung yang berlalu sambil menerbangkan rambutku.

"Sindhung, Mas. Menemani ibunya yang kesepian."

Mas Arang menggandengku ke kamar, memaksaku menghentikan jahitan yang sebentar lagi menjadi kutubaru. Ia langsung terlelap, tak menyentuhku. Tidak apa-apa, aku sudah sangat bersyukur ia pulang malam ini.

Aroma kantil menguar dari pakaiannya. Aku tahu itu aroma Gusti Putri yang ayu itu. Bau sangit-ku tentu kalah dibandingnya. Gusti Putri memang ayu dan lemah lembut. Namun, apalah artinya jika ia masih mengharap suami orang lain. Seagung apa pun Gusti Putri, tak bisa membungkam kata hatiku yang terus merutukinya. Segala umpatan bergumul di benakku, tak berani keluar lewat mulut, tetapi terwakili oleh air mata.

Ayam berkokok, azan berkumandang. Kubangunkan suamiku untuk salat subuh, tetapi ia sepertinya kelelahan. Begitulah setiap akhir pekan. Ia menghabiskan waktu di kamar. Kegiatannya hanya membaca dan kadang kala termangu sambil mesem, mungkin tengah membayangkan pujaan hatinya. Ketika aku ketahuan mengintip, amarahnya langsung meletup.

Pagi itu, setelah sang bagaspati menampakkan semburatnya, kutemukan rangkaian bunga kantil beserta nama Niskala dengan aksara Jawa di saku kemeja batik Mas Arang.

WikramaWhere stories live. Discover now