11. Hilangnya Jati Diri

86 26 3
                                    

Semburat keunguan berpadu dengan gegana di cakrawala. Pagi yang indah itu disia-siakan oleh pihak keluarga Siwi yang telanjur kecewa pada Tarangga. Perempuan malang itu telah kembali ke rumah orang tuanya, memendam perasaan getir yang mendalam kehilangan anak pertama, sekaligus kehilangan kepercayaan terhadap sang suami.

Kegiatan membatik Ibu dan buruh diliburkan. Bapak tetap pergi ke ladang karena harus merumput untuk kambing-kambingnya. Damar masih diselimuti angkara murka terhadap kakak iparnya.

Ibu memanggil kawan lama Siwi, Nawang untuk menghibur putrinya yang tengah berduka. Siwi yang sudah lama tak berjumpa Nawang pun berkurang kesedihannya.

"Kamu harus cepat pulih, supaya kita bisa meronce kembang lagi," kata Nawang.

"Baik, doakan saja. Aku jadi tidak sabar ke kebun cari bunga-bungaan lagi," jawab Siwi.

Perbincangan mereka berlanjut pada masa ketika mereka masih hobi ke ladang dan main masak-masakan.

💮

Di ruang gamelan, duduklah Tarangga Narapraja sembari menggesek rebab, mengalunkan serangkaian nada kidung pilu. Ia gundah dan masih tak percaya akan cerita Siwi dan Damar. Bukan tanpa alasan, warga keraton tak mungkin berbuat sekeji itu. Bila Ni Puri itu hanya orang biasa yang mengaku-aku, rasanya tidak mungkin karena untuk apa ia membunuh janin Siwi dan Tarangga?

Terlampau gundah gulana, ia pergi ke kota seberang untuk menemui Ki Hadi, dalang sepuh yang mengajarnya dulu. Tanpa perbekalan yang mumpuni, ia naiki kereta dengan tekad penuh, ingin meminta nasihat dari beliau. Ia tatap dengan kosong pemandangan sawah yang membentang. Petani sudah nandur padi di musim penghujan ini. Mereka terbungkuk dengan peluh membanjir demi menghidupi keluarga. Saat tengah hari, mereka akan kembali ke rumah masing-masing karena biasanya setelah tengah hari akan turun hujan.

Pemandangan itu terlalu biasa bagi Tarangga. Ia tak terpesona sama sekali. Pikirannya penuh oleh masalah dan rangkaian kalimat yang baik untuk diutarakan kepada Ki Hadi. Ia disambut oleh wanita setengah baya berdaster, putri Ki Hadi yang pernah menekuni dunia sindenan semasa muda.

"Mangga³⁵."

Tarangga duduk di kursi rotan, mengutarakan niatnya untuk bertemu Ki Hadi. Perempuan berdaster dengan karisma masih terpancar itu memapah Ki Hadi yang telah keriput.

Tanpa banyak basa-basi, Tarangga menjelaskan masalah yang menimpanya. Putri Ki Hadi yang dipanggil Cemeng padahal tidak hitam itu ikut menyimak dan menjadi perantara karena ucapan Ki Hadi tak bisa sembarang orang memahami. Giginya telah tanggal semua dan mengharuskan beliau bicara secara tergail-gail.

"Bapak ngendika³⁶, Mas Tarangga telah keluar dari sifat dalang. Kelima sifat sejati dalang telah Mas Tarangga langgar."

Tarangga sedikit tersinggung, merasa mustahil dirinya menjadi kepercayaan keraton jika ia melanggar sifat sejatinya. "Sifat apa saja?"

Ki Hadi bicara dengan kurang jelas. Cemeng mendekatkan telinga di dekat bapaknya kemudian mengatakannya pada Tarangga. "Bapak meminta maaf karena lupa mengajarkan ini kepada panjenengan³⁷. Seorang dalang harus memahami lima sifat sejatinya. Gendeng—berjiwa sosial, berhati lapang, melindungi untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan lahir batin. Gending—luwes dalam melayani keadaan yang macam-macam, berjiwa momot, kamot, dan momong. Gendung—memiliki rasa kepribadian dan tanggung jawab. Gendeng—tidak mudah terpengaruh oleh keadaan, tidak ragu, dan jauh dari rasa rendah diri. Terakhir, Gandang—seorang dalang harus spontan, mapan, dan bersih dari prasangka yang kurang baik. Apakah panjenengan merasa melanggar salah satunya? Atau bahkan semua?"

Tarangga meremang mendengarnya. Tak pernah terlintas di pikirannya jika ia gagal menjadi seorang dalang sejati. Semua sifat sejati telah melenceng dari dirinya. Ia telah kehilangan jati diri.

"Semuanya bukan diri saya."

Ki Hadi kembali bicara, diperjelas oleh putrinya, "Untuk menjernihkan jiwa, Mas Tarangga bisa diruwat."

"Ki Hadi yang meruwat?"

"Bapak sudah tidak bersedia."

"Apa yang terjadi jika saya tidak diruwat?"

"Mas Tarangga akan kesulitan kembali pada jati diri." Cemeng kembali mendekatkan telinga pada mulut sang ayah. "Tapi ada solusi lain. Panjenengan bisa merawat dan memandikan gamelan panjenengan dengan benar."

"Maksudnya, saya selama ini salah memandikan gamelan saya?"

"Mungkin sesekali dibersihkan dengan kemoceng atau tersentuh tangan yang salah."

Satu orang yang terlintas di pikirannya adalah Siwi. Perempuan itu pasti menyelonong ke ruang gamelan dan bersih-bersih di sana.

"Dan lebih baik Mas Tarangga buang prasangka terhadap istri. Jelaskan padanya supaya ia tidak berbuat kesalahan lagi. Mulailah bentuk jati diri Mas Tarangga bersama istri panjenengan."

Itulah hebatnya Ki Hadi. Ucapannya yang diperantarakan oleh Cemeng mampu menohok dan menyadarkannya yang telah digelapkan oleh perasaan gondok pada Siwi dan cinta pada Niskala. Ia harus mulai dari awal bersama dirinya sendiri. Jati dirinya. Dengan keterbukaan yang seimbang dengan sang istri dan sang raden ayu.

"Bukan seperti itu, Mas Tarangga. Panjenengan itu harus lebih terbuka dengan istri dan menjalani kehidupan bersama. Lupakanlah perempuan di masa lalu."

Namun, Tarangga enggan. Perasaan tidak bisa dipaksa. Ia tidak memiliki perasaan istimewa dengan Siwi. Justru jika dipaksa semakin dekat, ia risi.

Pemuda itu pamit setelah berterima kasih dan minta maaf karena tidak membawa buah tangan.
_______

³⁵ Silakan.

³⁶ Bicara.

³⁷ Anda.

"Selamat Hari Wayang Nasional 7 November 2022."

WikramaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz