6. Kembali dengan Setengah Hati

108 29 3
                                    

Tarangga menyesap kopi dengan nikmat. Di hadapannya, terpampang istrinya yang sedang menyirami tanaman. Diam-diam Tarangga bangga mempunyai Siwi karena sejak keberadaannya, rumah Tarangga lebih terawat.

Tarangga yang melangkah menuju halaman mendapat atensi. "Manggala, sudah lama tidak melihatmu."

Pemuda yang dipanggil masih memakai ageman khas niyaga. Hanya dialah, sang penabuh bonang yang paling dekat dengan Tarangga, sang dalang.

"Rangga, aku ada berita bagus untukmu." Manggala duduk di bangku sebelah Tarangga.

Siwi menghentikan kegiatannya. Memasuki rumah kemudian keluar membawa kopi.

"Terima kasih." Setelah Siwi kembali ke dalam rumah, Manggala melanjutkan, "Tahi lalat kalian cocok sekali."

Tarangga menyentuh tahi lalat kecil di samping kanan hidungnya. Memang letak tahi lalat itu persis dengan milik Siwi. "Aku dan dia sepupu jika kau lupa."

"Bukan hanya itu sebabnya." Tanpa basa-basi lagi, Manggala mengutarakan niat utamanya, "Rangga, karawitan di keraton akan memenuhi undangan tampil di Vietnam."

Tarangga menunggu sahabatnya itu melanjutkan. Sudah bukan hal mengejutkan karawitan milik keraton hadir dalam acara di luar negeri. "Lalu?" Ia perhatikan raut Manggala yang gugup.

"Kami membutuhkanmu, Rangga."

"Kenapa? Bukankah sudah ada penggantiku?"

"Dalang muda itu? Tidak. Kami lebih mempercayakanmu, Rangga. Gayamu dalam melakonkan wayang lebih memukau."

"Kau tahu sendiri, Gala. Aku sudah hengkang dari keraton, tidak punya urusan apa-apa lagi. Sudah benar-benar lepas." Wajahnya keras.

"Ini perintah dari Gusti Prabu." Manggala mampu membisukan Tarangga. Untuk yang satu itu, ia tak mampu menolak. "Apa karena Ndoro Niskala? Sebegitu cintakah kau padanya sampai kau hendak merelakan pengabdianmu pada pewayangan?"

"Aku masih melakonkan wayang ketika ditanggap."

"Rangga, lupakah kau akan moto dirimu sendiri? Ngelmu iku kalakoni kanthi laku²². Kau akan lebih menanjak bila menuruti titah Gusti Prabu."

"Aku tak bisa meninggalkan istriku yang tengah berbadan dua!" Akhirnya Tarangga mengungkapkan alasan sebenarnya. Ia enggan membiarkan Siwi menjaga rumah sendirian. Namun, ia tak berhak menolak titah Sang Raja.

Siwi yang menguping dari balik tembok terkejut. Hatinya berdesir mendengar ungkapan tersirat Tarangga yang mengkhawatirkannya. Namun, ia tidak mau menjadi penghalang pengabdian suaminya menjadi dalang. Ia pun keluar sambil membawa dua stoples berisi bolu dan biskuit. "Mas, aku tidak apa-apa. Jangan pikirkan aku. Kangmas harus menuruti titah raja." Ia ikut duduk di kursi yang kosong.

"Aku hanya tidak mau kehilangan anakku atas kecerobohanmu."

"Aku tidak ceroboh!"

"Ya, kamu ceroboh! Berangkat ke warung tidak bawa payung padahal sudah gerimis."

Siwi cekikikan. Ia masih bahagia mengetahui Tarangga enggan meninggalkannya. "Kalau begitu, Mas bisa panggilkan adikku, Damar. Yang penting Mas pergi ke Vietnam."

"Kau senang aku pergi? Tunggu ... Kau menguping?"

Siwi terkekeh sembari menggaruk kepalanya. Ia merasa lebih dekat dengan suaminya. Apalagi suaminya itu tidak irit bicara lagi padanya.

Manggala tersenyum melihat pasutri itu. Ia sebenarnya iba pada Siwi yang berkantung mata hitam itu. Siwi pasti sangat baik melayani suaminya hingga lupa mengurus dirinya sendiri.

"Aku tinggal ke warung, ya. Mau beli janganan²³," ucap Siwi, menenteng tas srengkot²⁴.

Tarangga dan Manggala mengangguk. "Hati-hati, Wi!" Manggala sengaja memancing cemburu Tarangga. Namun, Sang Dalang tetap pada raut datarnya.

"Bagaimana keadaan Niskala setelah aku hengkang?" tanya Tarangga, mengepulkan asap kretek.

"Kenapa menanyakan itu? Kau sudah memiliki sigaraning nyawa."

"Aku membuat Siwi senang supaya anakku sehat. Jika dia tidak mengandung, aku bakal terus abai padanya."

"Astaga, Rangga. Itukah tujuanmu menikahinya? Hati-hati, lho. Aku kemarin ke warung, mendengar beberapa pemuda yang membicarakan istrimu. Jangan sampai istrimu kabur ke mereka karena tidak pernah diberi kasih sayang," Manggala memberi wejangan.

"Di warung mana?"

"Nyak Jum. Tempat biasa istrimu berbelanja."

Tarangga menutup pintu, kemudian melesat menyusul Siwi secara diam-diam, diikuti oleh Manggala. Ia bernapas lega ketika mendapati Siwi di warung sedang tertawa bersama wanita lain. Tidak ada lelaki sama sekali. Salah satu wanita, berkerudung mengelus perut rata Siwi. Itu memberitahu Tarangga bahwa istrinya sedang membagikan kabar bahagia tentang buah hati mereka.

"Siwi bangga memilikimu. Pantaskah dia mendapat perlakuan kejimu?" Mereka masih menilik Siwi yang semringah dari balik semak. "Ndoro Niskala sering meninggalkan sanggar saat latihan berlangsung. Ia murung, tapi akhir-akhir ini ia menjadi galak dan sering meninggalkan keraton. Mungkin menjernihkan pikiran."

Tarangga mangut-mangut. Ada secuil rasa senang mendengar kenyataan bahwa tidak dirinya saja yang larut dalam kesedihan, tetapi Niskala juga.

Omong-omong Niskala, pemuda itu ingat sesuatu yang mirip dengannya ... "Oh tidak! Aku harus mengajar di Sekar Sapta." Ia kelabakan. Berlari kembali ke rumah untuk ganti baju.

Manggala menyusulnya sampai rumah. Ia berkata, "Rangga, dengar-dengar pihak keraton akan membujukmu agar kembali kepada mereka. Lebih baik kau undurkan diri dari Sekar Sapta."

"Tidak bisa. Aku sudah menandatangani kontrak."

💮

"Hanya karena saya telat tiga puluh menit, kemudian dipecat?" Tarangga tak terima.

"Maaf, Tarangga. Bukan hanya itu, tetapi bukankah kau akan kembali ke sanggar keraton?"

"Memangnya apa hubungannya dengan aku mengajar di sini?"

Pemilik sanggar yang telah sepuh itu menghela napas. "Sebenarnya aku bangga dengan caramu mengajar. Namun, utusan keraton tadi malam kemari, memberitahuku kalau kau akan diemong lagi oleh keraton. Pengajar sanggar Sekar Sapta ini akan digantikan oleh Wisesa."

"Siapa Wisesa?"

"Dalang penggantimu di keraton. Katanya, dia tidak cukup cakap dalam melakonkan wayang. Dalang di keraton lebih pantas disandang olehmu."

"Itu pemaksaan. Aku sudah hengkang dari keraton. Mengapa mereka memaksaku kembali?"

"Karena bakatmu, Tarangga. Sanggar kecil ini tidak pantas menampung bakat besarmu."

Pada akhirnya, ia mengiakan dengan setengah hati. Meninggalkan anak didik karawitannya yang ia anggap sahabat sendiri.

Diaturkannya tanggap wacana perpisahan pada anak didiknya yang menatap dengan mata berkaca-kaca. Terutama Retno, si gadis duplikat Niskala bersuara sumbang.

Gadis itu tersedu-sedan, merunduk menghindari tatapan Tarangga. Di samping gadis itu, temannya menepuk pelan punggungnya.

"Lho-lho jangan nangis, kita masih bisa bertemu. Tahun depan, aku tampil di balai desa. Tonton ya," ucap Tarangga.

Ucapan itu justru membuat air mata tumpah dari sebagian anak didiknya. Ia sendiri pun telah mbrambang.
 _______

²² Ilmu itu baru dapat dipahami dengan sebenar-benarnya melalui penerapan dalam tingkah laku atau perbuatan.

²³ Sayur untuk dimasak.

²⁴ Tas anyaman.

WikramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang