18. Sungkawa

82 21 3
                                    

1987

Niskala telah keluar dari sangkar emas yang menjelma sebagai jerat adat istiadat. Ia telah lepas dari ketatnya pengawasan emban. Namun, dirasa-rasa itu sungguh terlambat. Mengapa kebebasan itu tak diberikan ketika Tarangga masih lajang dan mereka masih saling dimabuk asmara?

Langkahnya gemulai mengelilingi taman sari ditemani beberapa kelinci kesayangannya.

"Gusti, panjenengan di-dawuh untuk ke cepuri." Seruan dari bibi emban membuyarkan kegiatannya.

Tanpa basa-basi, Niskala melangkah ke cepuri atau ruang utama dalam keraton. Sebelum menghadap romonya, ia menunduk kecil kepada dua lelaki lain di ruang itu.

💮

Dengan air mata berurai, Niskala berlari menuju kamar ibundanya. "Ibunda ... Mengapa tidak menghalangi Romo perihal perjodohan itu?" Ia langsung menubruk pangkuan sang ratu.

"Duh, Cah Ayu, siapalah ibundamu ini. Yang hanya bisa mikul dhuwur mendhem jero⁵¹ pada ayahmu," ucap Gusti Ratu.

"Saya tidak mengenal dalang itu sama sekali. Saya lebih suka sendiri daripada menikah dengannya."

"Jangan begitu! Raden Wisesa adalah jodohmu. Weton kalian cocok. Lagi pula, Romo dan Ibunda sudah sepuh, butuh penerus untuk keraton ini."

Ingin Niskala menjawab, tetapi tak mampu menyusun kalimat. Ia hanya bisa meratap dalam kalbu, mengapa ia yang selalu menjadi korban. Sambil memeluk lutut ibundanya yang sedang lungguh di singgasana, Niskala terngiang-ngiang perkataan Mbok Inah. Ada karma di dunia ini. Jika sekarang Den Ayu susah hati, esok bakal menjadi kebalikannya. Begitu pula Mbok sendiri. Sekarang Mbok sedang mencari dan menikmati kesusahan, sebab Mbok menantikan kesenangan kelak kemudian.

Mbok Inah benar perihal adanya karma. Niskala merenungi tuturan emban yang kini tak lagi mengabdi padanya itu. Dulu, ia kira masalah terberat hanyalah ketidakbebasan keluar dari keraton. Namun, kini ia merasakan hal yang lebih berat bahwasanya ia tidak bebas menentukan alur hidupnya sendiri. Semua yang menjadi sumber kebahagiaannya dirampas begitu saja oleh keadaan. Orang tua. Pujaan hati. Lingkungan. Nama baik.

Kesendirian yang lima tahun ia jalani telah kandas. Usianya hampir mencapai kepala tiga. Nama Tarangga Narapraja perlahan terkikis dari lubuk hati terdalam. Keadaan keraton pun mulai ia terima dengan senang hati. Namun, perjodohan yang tak dikehendakinya sangat membuat gundah gulana. Di sisi lain, ia berterima kasih pada dalang muda itu yang mau menikahi gadis keraton dengan citra buruk sepertinya.

Dalang Wisesa itu bak penolong Niskala dan keluarga dari rasa malu yang berkepanjangan. Namun, dia pun menjadi alasan sang putri tertekan karena tidak siap. Niskala belum siap sama sekali mengabdi pada keluarga barunya.

Hari lambat laun berganti. Tanggal pernikahan dan resepsi pun ditentukan. Walau Niskala gadis keraton, citranya telah buruk. Maka resepsi digelar ala kadarnya, dihadiri oleh sedikit tamu khusus yang diundang. Itu pun kalau mereka sudi ngurmati nganten.

Niskala tak dibolehkan keluar lingkungan keraton. Bahkan, lebih tepat jika dikatakan Niskala tak boleh keluar kamar. Acap kali ia melangkah keluar, langsung ada emban yang menghimbaunya untuk kembali masuk.

"Gusti di dalam saja. Nanti ketubruk rewang-rewang." Blablabla. Mereka seenaknya sendiri mengatur langkah Niskala yang hanya kuasa berdiam diri kesepian.

Kamar luas beraroma kantil itu sepi, membuat telinga sang putri berdengung. Tubuh semampainya terbaring di kasur putih bersih. Dinding dari kayu jati pilihan dan jendela yang dibiarkan terbuka membuat kamar itu senantiasa sejuk. Ia pandangi foto yang terpajang di atas meja rias. Fotonya bersama niyaga dan dalang selepas acara resmi di keraton. Foto itu menyimpan kenangan yang begitu berharga, membuat air matanya tak terbendung lagi. Hatinya serasa tersayat tatkala ingatan melanglang buana ke masa-masa ia dan sang dalang dimabuk asmara.

Sorot mentari masuk melewati jendela, memperjelas gambar di balik pigura kayu itu. Isakan Niskala lambat laun semakin keras. Hal itu membuat kerongkongannya tercekat sebelum rasa pusing dan mual menjalar.

Segeralah kaki melangkah menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamar tidurnya. Sebelum tiba, ia telah memuntahkan isi perutnya, membuat para abdi yang melihat menjadi panik tak keruan. Mereka bergemuruh, menggumamkan bermacam kalimat. Dua di antara mereka memapah Niskala kembali ke kamar.

💮

Kabar memalukan itu telah beredar di lingkungan keraton. Tak ada satu pun abdi yang tidak tahu perihal yang sedang panas digosipkan oleh para emban. Semuanya bertanya-tanya siapa ayah dari jabang bayi yang sedang dikandung Niskala. Apakah Wisesa, atau Tarangga?

Namun, banyak yang telah menduga bahwa Tarangga-lah pelakunya. Karena ia beberapa bulan lalu sempat bertemu Niskala, bahkan sering. Sedangkan Wisesa, terakhir bertemu Niskala ketika acara lamaran seminggu lalu.

Para abdi pria maupun wanita menjadi bingung sekaligus waswas. Mereka tidak tahu apa yang sedang dilakukan Sri Prabu dan permaisurinya pada Niskala. Sebagian dari mereka menempatkan diri di balik pintu ruangan interogasi, dengan alasan berjaga-jaga jika Raden Ayu mereka dianiaya oleh orang tuanya.

Jeritan dan tangis kedua perempuan membuat bimbang abdi yang mendengar. Mereka takut dan ingin mendobrak pintu, tetapi tak mau ketahuan jika mereka sedang menguping.

"Bangun, Romo ... Maafkan sahaya." Hingga ratapan parau Niskala membuat mereka yakin harus mendobraknya.

Di dalam ruangan kebesaran itu, sang raja terpejam, tak bergeming dari posisi duduk dengan kepala menengadah. Sedangkan sang ratu terkulai di kursinya sendiri sembari memeluk tubuh sang raja. "Tolong mereka, tolong." Niskala tertatih-tatih berdiri dengan kondisi berantakan. Sanggulnya terlepas, tergeletak di lantai. Celak dan bedaknya luntur terkikis oleh air mata. Kebaya dan jariknya telah kusut.

Semua diselubungi kepanikan. Ruangan itu penuh tangisan setelah tabib keraton mengungkapkan mangkatnya sang raja.

Keraton itu layaknya dikutuk. Dari ketiadaan dalang piniji⁵², sang putri yang sempat slewengan⁵³ hingga berbadan dua sampai romonya mangkat. Keharuman nama keraton itu benar-benar tercemar.
_____

⁵¹ Berbakti dengan sepenuh hati.

⁵² Terpilih.

⁵³ Menyimpang.

WikramaWhere stories live. Discover now