7. Rebab dan Kehangatannya

111 30 1
                                    

Tarangga menaiki sepedanya, meninggalkan halaman sanggar Sekar Sapta yang beberapa bulan ini menampung ilmu yang dibagikan pada murid-muridnya.

"Pak Rangga!" Retno memanggil seraya berlari kecil. Tarangga berhenti, menatap penuh tanya gadis mungil yang sembap itu. "Saya tahu Pak Rangga tidak mengenal saya, tapi mohon diterima." Ia menyerahkan bungkusan plastik besar dengan tertunduk. Tarangga menerimanya dengan senyum akrab. Ia buka bungkusan itu, mendapati sebuah ukiran timbul bertemakan Pandawa.

"Kenapa, Retno?" tanya Tarangga lembut sembari mengusap kepala Retno. Gadis itu berjengit kemudian semburat kemerahan menjalar di wajahnya.

"It-itu tidak seberapa, Pak. Tapi saya harap Pak Rangga menyimpannya sebagai kenangan dari Retno Werdhani."

"Kenapa memberi saya, Retno? Ini pasti mahal."

"Bapak saya yang membuatkannya, jadi saya tidak mengeluarkan uang sama sekali. Saya mohon, Pak Rangga sudi menerima hadiah dari saya." Sebulir air mata meluncur yang langsung dihapusnya. Ia senantiasa merunduk, malu memperlihatkan wajahnya yang amburadul oleh air mata. "Sebenarnya sudah lama saya siapkan itu. Saya kepingin memberi Pak Rangga hadiah sebagai bentuk apresiasi dan kekaguman. Namun, saya tak kunjung punya nyali."

Tarangga luruh mendengarnya. Ia terharu mendapati anak didik yang begitu memperhatikan dan peduli padanya. Walaupun Tarangga sering kali membentak anak didiknya agar fokus menabuh.

"Terima kasih, Retno. Saya akan menjaga pemberianmu dengan baik."

"Ah, saya yang berterima kasih pada Pak Rangga yang telah memberi bekal dan pengalaman saya mengrawit."

Retno menyalami Tarangga, mencium punggung tangan pemuda itu sebelum berbalik pulang. Tarangga memandang punggung Retno yang semakin menjauh.

Sebelum berbelok ke dalam gang, gadis itu membalikkan badan, melambai pada Tarangga. Lambaian perpisahan. Dalang itu membalasnya kemudian Retno menghilang dari pandangan. Tarangga meletakkan plastik besar itu di setang, pulang dengan senyum semringah yang tak mampu ia tutupi.

💮

"Kangmas memang karismatik. Tidak heran banyak orang yang menyukai Kangmas. Termasuk gadis belia sekalipun," kata Siwi cemberut setelah mendengar cerita Tarangga dengan Retno tadi. Walau begitu, ia masih menatap takjub ukiran itu yang kini terpajang di dinding.

"Kamu cemburu? Retno itu kuanggap anak sendiri," ucap Tarangga dengan tatapan jail. Suasana hatinya sedang bagus dan ia ingin mengusili istrinya yang tengah cemburu.

"Tidak. Toh Kangmas hanya milikku seorang selama masih memakai cincin kawin." Kemudian mereka terkekeh. "Oh ya, Kangmas besok bawa baju yang mana saja?"

"Yang mana saja."

"Lho Kangmas, aku bertanya serius."

"Yang mana saja kupakai asal disiapkan olehmu." Kalimat itu dihadiahi cubitan oleh Siwi. Mereka tertawa bahagia bersama untuk pertama kalinya. "Kamu tidak apa-apa kutinggal jauh? Bisa menjaga jabang bayi kita sendirian?"

"Aku sudah dewasa."

Tarangga beralih ke perut Siwi yang masih rata. Ia mengusap-usap calon anaknya itu. Dilantunkannya tembang macapat Maskumambang, sesuai dengan keadaan si jabang bayi yang masih mengambang di dalam perut. Gemercik hujan menjadi latar belakang kebersamaan itu.

Siwi tersenyum bahagia mendapat perlakuan itu. Tarangga yang beku mulai mencair perlahan-lahan. Usapan lembut dan tembang merdu itu membuat hatinya tak lagi sarat akan ketakutan.

"Bapak tinggal dulu ke rumah pamanmu, ya." Tarangga telah selesai dengan tembangannya. Ia kecup perut istrinya kemudian beranjak mengambil payung.

"Hati-hati di jalan."

💮

Selepas makan malam, Tarangga menuju ruang gamelan di rumahnya. Ruangan itu senantiasa bersih tanpa siapa pun membersihkan. Selama pernikahan Tarangga dan Siwi, tak sekalipun Tarangga menyinggung ruang yang terletak di sebelah timur itu. Siwi pun memadamkan rasa penasarannya karena ia tahu, Sang Dalang memiliki rahasia yang tak patut ia campuri.

Tarangga duduk di kursi berukir di hadapan gamelan. Ia mainkan rebab, mengalunkan suluk irim-irim kembang bopong. Itu membuatnya tenang, hanyut bersama irama rebab dan wangi kenanga. Mendadak ia menjadi lelaki mistik yang penuh karisma dan ketenangan.

Di ruang tamu, Siwi dan Damar duduk menikmati irama itu. Mereka baru pertama kali mendengar suara rebab. "Aku bangga punya kakak ipar seniman," kata Damar.

Siwi mengangguk, mengelus perutnya. Kau harus bangga memiliki darah seni, Nak.

WikramaWhere stories live. Discover now