4. Tak Boleh Cemburu

127 26 3
                                    

Sepupu yang menjelma menjadi suamiku itu dengan tegak menghampiriku di emperan warung kemudian menyodorkan sebilah payung biru bermotif teratai.

Matanya selalu awas menatap apa pun. Tanpa banyak kata, kami beriringan menyusuri jalanan becek. Aku menggenggam erat plastik berisi gula hingga sampai di rumah. Aku gugup.

Aku masih ingat, punggung lebar itu pernah menggendongku. Hidung mbangir¹⁴ itu pernah bertubrukan dengan hidung mungilku karena keaktifan kami. Ingatanku masih terjaga, ketika kumis tipis itu belum tumbuh, ia selalu mengumbar tawa bersamaku.

Namun kini, hanyalah kecanggungan yang menyelimuti kami. Kedewasaan membuat kami semakin berjarak. Apalagi yang kudengar, ia mencintai Raden Ayu Kaniraras Niskala Acalapati. Ia menikahiku hanya karena wasiat biyungnya.

Aku menyayangi Arang sejak kanak-kanak, ketika kami setiap hari bermain dan tergelak bersama. Hingga kini, perasaan sayang itu masih tersimpan. Namun, apa gunanya jika ia selalu menyakiti batinku dengan sikap dinginnya?

Kini aku tak bisa memanggilnya Arang lagi. Aku pun tidak bisa terang-terangan mengangkat wajah di hadapannya. Bukan karena sopan santun, melainkan aku minder. Merasa rendah karena pujaan hatinya yang sebenarnya adalah Raden Ayu.

"Kangmas pasti kedinginan. Akan kubuatkan kopi lagi. Kali ini bakal manis, deh," ucapku yang hanya dibalas gumaman tidak jelas.

Setelah menghidangkan kopi, aku harus berkutat dengan tungku dan asap yang sering membuat tubuhku bau sangit. Kutuang bergayung-gayung air ke dalam panci, kemudian beralih menanak nasi. Sembari menunggu air dan nasi matang, kumanfaatkan tanganku untuk meracik bumbu. Aku akan menumis kangkung, makanan kesukaan suamiku sedari kecil.

Hanya kemampuan memasakku yang bisa kubanggakan. Tidak ada yang lain. Bahkan soal bercinta pun aku tak bisa berkutik. Arang enggan menyentuhku hingga kini, seminggu setelah pernikahan.

Aku memang mengharapkannya, dan hanya bisa menunggu.

💮

Jarak tak mampu membakar kesepian seorang Niskala walaupun alunan gending mengelilinginya.

Tembang Kijing Miring keluar mendayu dari mulut delimanya. Kini ia tak bisa lagi menyanyikannya sambil melirik-dilirik dengan Tarangga.

Ayo, Mas. Kijing miring ayo, Mas. Kijing miring ...

Sungguh dahsyat kekuatan cinta. Melebihi racun. Niskala terus menembang di hadapan para niyaga dengan wajah sumeh, ceria walau sebenarnya suasana hati sedang kelabu.

Ia tidak tahu bahwa ada Manggala, si penabuh bonang¹⁵ adalah sahabat Tarangga. Pemuda itu diminta oleh Tarangga untuk mengawasi Niskala yang kian kurus dan aura gelap mulai memancar dari gadis itu.

Dalang di dunia ini tidak hanya Tarangga. Maka, sanggar di keraton mendatangkan dalang muda baru, yang diharuskan konsisten. Tarangga yang mendengar itu sejujurnya kecewa. Dalang adalah dirinya. Jiwanya. Ia adalah seniman. Kini, ia meninggalkan itu lantaran tak mau hatinya terjerumus lebih dalam.

Setidaknya ia masih mengajar di beberapa tempat. Ia bisa mencurahkan bakatnya di setiap latihan dan pentas.

💮

"Mas, saya kepingin belajar menyinden biar kayak Raden Ayu," ucap Siwi suatu malam, dipunggungi suaminya di atas dipan. Perempuan itu berusaha menyadarkan Tarangga secara tersirat.

"Kenapa?"

"Jika saya punya suara emas sepertinya, mungkin Kangmas bisa mencintai saya."

"Cinta bukan hanya soal suara, Siwi. Cinta sejati itu tanpa syarat."

"Betapa tunduknya Kangmas dengan perasaan itu sampai meninggalkan posisi di keraton."

"Itu pun saya lakukan untukmu. Kalau saya terus-terusan di keraton bertemu Niskala, apa kamu lila¹⁶?"

Siwi terbungkam. Tarangga menyebut nama Niskala tanpa embel-embel membuat hatinya berdenyut. Sebegitu dekatkah suaminya dengan sang putri?

Mulut Siwi berkedut dengan mata yang berlinang. Aku hanyalah orang ketiga. Batinnya terlunta-lunta. Tarangga berbalik menghadapnya, mendekapnya. Siwi berjengit mendapat sentuhan itu. Ia kemudian mendekat dan menenggelamkan kepalanya di dada lebar Tarangga.

"Siwi, jangan membuat sedih Biyung dengan tangismu."

Saat itu pula, Siwi tahu alasan Tarangga menikahinya.

Malam itu ia melayani Tarangga untuk pertama kali, membuat dirinya berbunga-bunga. Walaupun suaminya itu kerap menggumamkan nama Niskala.

Pagi hari, Tarangga mendapat dawuh¹⁷, bahwa ia ditanggap di acara tahunan, di Desa Paguyuban.

Pada pukul sepuluh, ia menaiki ontelnya menuju desa itu. Pertunjukan wayang dimulai selepas zuhur hingga senja. Dilanjutkan pukul sembilan malam. Pemberitahuan mendadak itu membuatnya mengayuh sepeda lebih cepat. Untunglah tadi istrinya cepat tanggap, menyiapkan segala keperluan dengan cekatan.

Ki Dalang. Profesi itu sangat menarik untuk sebagian orang. Dalang yang melakonkan dan menyatu dengan pakeliran. Pada dasarnya, dalang adalah mudal piwulang atau memberikan pelajaran. Tidak ada yang berani mengatur dalang karena seorang dalang adalah pribadi yang cerdik, mampu menghipnosis penonton dengan dialog wayang di balik layar. Bukan sekadar omong kosong, cerita wayang mengandung pesan moral.

Seorang dalang tidak melulu mistik dan berwibawa. Nyatanya di sisi lain, dalang bisa juga menjadi budak cinta yang kehilangan wibawa. Bisa bersedih, bisa merana lantaran cinta berbalas yang tak bisa bersatu. Ain yang tajam itu bukan tak mungkin menitikkan bulir bening. Di balik dada lebarnya pun, terdapat hati yang mudah dibuat nyeri oleh cinta.

Jika klakson sebuah jip tak mengagetkannya, mungkin ia takkan pernah tersadar dari lamunan. Ia bernapas lega setelah berbelok ke jalan setapak kecil, selamat dari jip yang hampir menghantam ontelnya.

Jangan bermuram durja, aura positif dalang harus terjaga. Berkali-kali ia tanamkan kalimat itu di sepanjang jalan sembari menghafalkan beberapa mantra untuk pagelaran nanti.

Panggung telah digelar sedemikian eloknya. Lurah Desa Paguyuban menyambut Ki Dalang dengan sukacita. "Sugeng rawuh, Ki Semar Tarangga. Pangapunten memberi tahu secara mendadak." Mereka bersalaman dengan senyum semringah.

"Sugeng enjing, Pak. Boten napa-napa."

Sembari menunggu waktu zuhur, mereka berbasa-basi dengan suguhan kopi dan makanan tradisional. Pagelaran wayang kulit dimulai setelah mereka melaksanakan ibadah.

Dari adegan jejer¹⁸ hingga tancep kayon¹⁹, Tarangga menggerakkan tangan terampilnya dengan memesona. Tak heran ia sempat menjadi dalang keraton. Penonton banyak yang lupa cara berkedip. Sinden-sinden di situ langsung mesam-mesem sendiri, kepincut dengan karisma Tarangga.

Siapa yang tidak tertarik dengan pemuda mapan berjiwa seni nan terkenal? Apalagi auranya entah kenapa bisa memberikan kenyamanan. Di situlah risiko menjadi istri seorang dalang. Ia tak boleh memelihara rasa cemburu. Ia harus sepenuhnya percaya pada kesetiaan sang suami.
_______

¹⁴ Mancung

¹⁵ Kumpulan gong kecil yang diletakkan secara horizontal ke dawai dalam bingkai kayu.

¹⁶ Rela.

¹⁷ Panggilan.

¹⁸ Ditandai dengan tampilan tokoh-tokoh wayang di atas jagat dan panggung.

¹⁹ Pagelaran telah selesai.

WikramaWhere stories live. Discover now