17. Mulai Bangkit

79 21 2
                                    

Karawitan tetap berjalan tanpa sinden Niskala dan dalang Tarangga. Kehadiran mereka hanya akan membuka ingatan para saksi mata atas kejadian ribut berminggu-minggu lalu di bangsal itu. Kemudian membuka aib keluarga yang bersangkutan.

Dengan tubuh tegap, Niskala telusuri jalan batu menuju gerbang yang ramai oleh lalu lalang abdi dalem. Ia membalas senyum para abdi ala kadarnya karena ia tahu senyum yang mereka lontarkan tidak benar-benar tulus. Masih ada tatapan hina di netra mereka.

Tidak ada gunanya bersikukuh mengelak dari gunjingan itu. Ia akan dipandang bersalah. Bagaimanapun, ia memang pernah menjalin cinta dengan Tarangga.

Genggaman tangan Ibunda menguatkannya kembali hingga mereka tiba di taman sari. Hijaunya rumput teki menyejukkan mata. Semilir angin senja menggoyangkan bermacam tanaman hias.

"Kamu tidak pernah merasakan kenikmatan ini, bukan?" tanya Ibunda, duduk di bangku taman.

Niskala mencontoh gerak-gerik ibundanya. Ia pandangi merpati yang terbang jauh di atasnya. "Benar, Ibunda. Saya telah dibutakan oleh cinta terlarang."

Seekor kelinci putih yang mendekat segera ia tangkap menggunakan tangan lembutnya. Taman sari memang menjadi tempat tinggal kelinci, hewan kesayangan sang putri.

"Sudah lama temanmu itu tak kau kunjungi. Mereka kangen padamu." Ibunda ikut mengelus-elus kelinci putih di pangkuan putrinya.

Niskala memandang sekeliling, di mana kelinci melompat-lompat dan menggigiti rumput. Ada pula yang sedang menggali lubang. Kembang seruni tumbuh bergerombol di salah satu sisi taman, sementara sisi lainnya ditumbuhi mawar, melati, kenanga, wijayakusuma, kenikir, regulo, asoka, gandasuli, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, Tarangga sibuk membuat kreasi baru sambil memegang thuthuk⁴⁵ slenthem⁴⁶. Di sebelahnya, duduk bersimpuh Siwi Suryandari yang suasana hatinya membaik berkat Tarangga yang rehat dulu dari sibuknya pekerjaan. Dengan secangkir kopi dan seorang garwa yang perhatian, Tarangga mulai betah di rumah. Ia baru menyadari bahwa rumahlah tempat yang paling istimewa.

Asta-nya⁴⁷ dengan cekatan memukul slenthem sehingga mengalun nada nan apik. Jiwa seni seorang Narapraja memang tak perlu diragukan apalagi ia pernah menjabat sebagai dalang keraton. Walau sempat melanggar lima sifat sejati dalang dan menuruti hasrat cinta terlarang, jiwa seni tak dapat enyah dari sosoknya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Tarangga, memusatkan perhatian pada Siwi.

"Sudah bagus, coba ditabuh pada saron," ujar Siwi.

Tarangga menggeleng takzim, menarik Siwi ke hadapan saron. "Coba asta-mu yang nggajal⁴⁸." Ia pun memegang tangan Siwi untuk memukul saron dari belakang.

Siwi berdebar, membuat gerakan tangannya di bawah Tarangga menjadi kaku. "Yang lemas saja." Siwi berusaha menurutinya.

"Kok umpak-nya⁴⁹ kurang sreg." Mereka telah duduk  normal di belakang saron. Wajah Siwi masih memerah, hatinya mulai mekar.

"Nanti aku akan merevisinya. Sekarang, aku mau minta dimasakkan nasi goreng oleh istriku." Tarangga membuat istrinya melenguh manja tanpa sadar. Bahagia karena mendapat perlakuan dari sang suami. Dengan semangat yang membludak, Siwi melangkah ke dapur sedangkan Tarangga menggigit bibir, menanamkan dalam hati bahwa ia harus mencintai Siwi dengan tulus.

Perlakuan manis itu hampir belum pernah dilontarkan Tarangga kepadanya. Siwi berjingkrak kecil sembari mengambil wajan. Di kepalanya, masihlah terbayang-bayang senyum suaminya.

Lathi-nya⁵⁰ tersungging sebuah senyuman, menghalau bayangan kalut berminggu lalu. Asta-nya meracik bumbu nasi goreng dengan lihai sampai masakannya matang.
_____

⁴⁵ Alat pemukul pada gamelan.

⁴⁶ Salah satu instrumen gamelan.

⁴⁷ Tangannya.

⁴⁸ Mencoba.

⁴⁹ Biasanya dibunyikan dua kali tetapi bisa pula diulang-ulang menurut kebutuhannya.

⁵⁰ Lidahnya.

WikramaWhere stories live. Discover now