Chapter 2 : Her Butler, Careless

161K 6.4K 239
                                    

Alice duduk menopang dagu. Menatap Michael yang sedari tadi mondar-mandir dengan sibuk sementara bibinya tampak mengarahkan dan sedikit memberi komando.

Matanya mengikuti pergerakan pemuda yang sudah hampir dua minggu ini menjadi butlernya itu.

Pikirannya kembali menerawang.
Jika dipikir-pikir lagi, selama beberapa hari ia mengamati orang itu, ia tak mendapati ada yang aneh.

Michael itu, pekerjaannya sempurna. Ia cekatan, pandai, dan sangat berbakat seperti yang pernah dikatakan oleh bibinya. Selain lambang Faustus yang tiba-tiba muncul di dahinya itu, benar-benar tak ada hal yang janggal tentang Michael menurutnya.

Butlernya itu juga tak pernah lagi menyinggung tentang iblis, kontrak atau apa pun. Benar-benar seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Seakan mereka benar-benar hanya pelayan dan majikan.

Membuat Alice sedikit meragu sebenarnya. Rasanya semua yang terjadi beberapa hari lalu, dapat dikatakan terlalu konyol untuk menjadi sebuah kenyataan. Namun di saat yang sama juga terasa terlalu nyata jika dikatakan sekadar mimpi.

"Ice, kau tidak ikut mengantar ke bandara?"

Teguran dari Madam Ann membawa Alice kembali ke alam sadarnya.

"Tidak, Auntie. Aku—"

"Kau harus ikut."

Alice diam ketika perkataan yang terdengar menuntut itu terdengar dari bibinya, membuat ia memilih menurut dengan pasrah.

Lalu untuk apa bertanya jika akhirnya juga dia memaksaku harus ikut? sungutnya dalam hati.

"Cepatlah bersiap."

"Ya, Auntie."

Dan tanpa banyak protes, Alice segera berdiri dari posisinya. Pergi ke kamarnya untuk bersiap, mengikuti perintah sang bibi.

#

Alice mematut dirinya di hadapan cermin.

Terbersit di pikiran gadis itu tentang sesuatu di dahinya, ia kemudian menyibak poni yang menutupi dan kembali mengamati simbol itu.

Tanda itu tidak hilang.

Itu artinya, ia bukannya lalai hingga jatuh tertidur di atas stempel bertinta seperti yang biasa ia lakukan. Bukan. Lagipula ia tak pernah memiliki stempel dengan bentuk seperti itu.

Yah, tentu Alice tahu. Sejak beberapa hari lalu ia memang memikirkan hal itu, tetapi meskipun ia menggosok kuat hingga dahinya terasa panas, tanda itu memang tak hilang.

Jadi sudah jelas, bukan?

Tok. Tok.

Ia sedikit teralih ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.

"Masuk."

Dan kemudian, dari pantulan cermin ia bisa melihat Michael masuk dan mendekatinya.

"Anda sudah selesai, Nona?"

"Ya. Ayo pergi."

Ia menatap sedikit heran ketika Michael bergeming di tempatnya berdiri, masih tampak mengamatinya.

"Apa?" tanyanya datar.

"Anda akan tampak berantakan jika pergi keluar dengan rambut terurai seperti itu." Michael mengeluarkan pendapatnya. Di luar dugaan, butlernya yang satu ini adalah orang yang sangat perfeksionis.

"Lantas?" balas Alice tak acuh.

"Duduklah. Saya akan merapikan rambut Anda."

"A-apa?! Jangan bercanda!" Suara Alice sedikit meninggi berikut wajahnya yang kini dirambati serabut kemerahan karena malu.

The Lady and the DevilWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu