Chapter 35 : Her Butler, Leave

57.3K 3K 180
                                    

Alice masih diam. Orang sebanyak ini ... apakah mungkin baginya untuk menghabisi mereka semua tanpa membunuh? Terdengar merepotkan sepertinya. Ahh, ia benar-benar tak ingin dan tak sudi mengotori tangannya untuk membunuh orang. 

Michael lama sekali. Cepatlah kembali, bodoh! umpatnya dalam hati.

Gadis itu menatap tajam ketika dilihatnya tiga orang mendekat hendak menyerangnya. Ia memasang kuda-kuda, dan tepat ketika ketiga orang itu berada dalam jangkauannya, Alice menendang dengan kuat. Menjatuhkan mereka bertiga dengan satu serangan.

Lizzie terperangah, bertepuk tangan dengan polosnya sementara Sebastian tampak tak heran melihat apa yang baru saja Alice lakukan. Yah, untuk pemuda yang sudah pernah melihat gadis itu merobohkan pintu setinggi dua meter, rasanya ia tak perlu kaget lagi melihat yang seperti ini.

"Jangan kehilangan fokus, mereka bisa menyerang kapan saja." Alice memperingatkan Lizzie dan Sebastian yang tampak tak begitu waspada.

"Tetaplah dalam posisi seperti ini, kita akan melindungi punggung satu sama lain," kata Sebastian kemudian sembari menarik pedangnya.

Di sisi lain, Lizzie melakukan hal yang sama. Ia menggenggam erat pedang di tangan kiri dan kanannya sembari memperkuat kuda-kuda. Tatapannya memandang tajam dan lurus.

Aku tak sekuat Alice dalam mempertahankan diri, dan aku juga tak semahir Sebastian dalam berpedang. Satu-satunya cara bagiku untuk bisa bertahan adalah dengan membunuh .... Gadis pirang itu mensugesti dirinya sendiri. Ya. Aku harus membunuh siapa pun yang mengancam kami! Aku akan melindungi mereka berdua.

Lizzie maju dan memainkan dua pedangnya dengan lincah, darah yang mengotori tubuh dan wajahnya bahkan tak membuatnya bergetar sedikitpun. Ia masih bisa mengingat, ketika pertama kali ia membunuh dengan pedangnya, seluruh tubuhnya gemetar bahkan hingga ia merasa tak sanggup untuk berdiri.

Namun sekarang, seakan hal itu tak berpengaruh untuk dirinya. Ia perlu melindungi apa yang ia sayangi, dan ia tak boleh lemah. Jika harus membunuh, maka ia akan membunuh. Toh siapa pun yang dibunuhnya saat ini, tak lebih dari sekumpulan manusia-manusia tak berguna.

Sekelompok orang-orang yang berkumpul dan memuja-muja sesuatu entah apa, lantas melupakan Tuhannya dan mengorbankan siapa pun tanpa memandang bulu, manusia semacam itu tak lebih dari setumpuk sampah baginya. Yah, meskipun harus ia akui, dirinyapun termasuk bagian dari mereka. Namun hal itu bukanlah inginnya.

Pergerakan Lizzie terhenti sejenak ketika ia menatap seorang pria paruh baya yang berdiri di hadapannya. Ia menatap tajam pria yang tak lain adalah ayahnya itu.

"Kulihat kemampuanmu sudah jauh berkembang, Elizabeth."

"Tahu apa kau soal diriku? Dan berkali-kali kukatakan, jangan memanggilku dengan nama itu," balas Lizzie sengit, tanpa menyembunyikan kebenciannya pada lelaki di hadapannya.

"Sudah lama aku ingin berhadapan seperti ini denganmu. Kematian ibuku ... akan kubalaskan di sini. Di tempat yang sama ketika kau membunuhnya."

"Liz, jangan bodoh! Kau tak akan bisa melawannya," sela Sebastian yang menyadari situasi di antara kedua orang itu mulai menjadi berbahaya. Keduanya tampak serius, dan bukan tak mungkin benar-benar akan saling membunuh.

"Kau jangan ikut campur, Sebastian. Ini masalah keluarga kami," sahut Lizzie dingin, seakan menekankan kata 'keluarga kami' dalam ucapannya, membuat Sebastian bungkam.

Alice menghela napas. Tampaknya ia terjebak dalam sebuah reuni keluarga yang tak ramah. Sebagai orang luar yang tahu diri, ia kemudian menarik diri dari orang-orang itu dan mengurusi urusannya sendiri.

The Lady and the DevilWhere stories live. Discover now