Chapter 13 : Her Butler, Report

71.8K 3.3K 78
                                    

Alice mengikuti langkah Sebastian dalam diam. Entah hanya perasaannya saja, atau memang orang ini melangkah semakin cepat? Yang jelas itu membuatnya sedikit kesal, seakan ia tengah mengejek kaki-kaki Alice yang tadi dikatainya pendek.

Mereka berdiri di depan sebuah pintu kamar di lantai dua bernomor 304.

"Ini kamar yang akan kautempati. Masuklah," tutur Sebastian singkat, lalu masuk setelah membuka pintu diikuti Alice yang sedari tadi mengekor di belakangnya.

Alice mengamati setiap sudut ruangan.

Kamar ini lumayan, bahkan jika boleh dikatakan, mungkin terlalu bagus untuk ukuran asrama yang digunakan oleh anak-anak sekolah. Juga terlalu luas untuk kamar yang hanya digunakan oleh dua orang.

Di dalamnya, lengkap dengan kamar mandi dan ruang ganti. Berbagai fasilitas berupa AC, rak buku dan meja belajar, sofa, komputer beserta peralatannya, dan banyak peralatan lain yang ... yah, katakanlah sedikit berlebihan untuk ukuran sebuah asrama.

Sebastian sedikit menjelaskan beberapa hal terkait dengan kamar dan aturan asrama. Termasuk peraturan di mana para siswa dilarang memasuki asrama putri, begitupun sebaliknya. Larangan untuk keluar dari asrama di atas pukul 10 malam, dan aturan-aturan lain.

"Segala bentuk peralatan elektronik termasuk laptop dan handphone dilarang dibawa ke sekolah. Jika butuh, kau bisa menggunakan komputer yang ada di kamar ini atau yang berada di perpustakaan."

Alice menyimak setiap keterangan yang keluar dari mulut Sebastian. Bukannya bermaksud menghormati atau apa, ia hanya tak ingin membuat masalah mengingat betapa ketatnya aturan yang diterapkan oleh sekolah ini dan sebagian besar dari aturan itu tidak ia ketahui.

Ayolah, Alice tak berniat untuk berlama-lama di tempat yang baginya seperti penjara ini. Lantas mengapa ia harus peduli pada semua aturan yang berlaku?

Meskipun mungkin itu juga tidak dapat dikatakan sebagai pendapat yang baik.

Gadis itu masih mengamati seisi ruangan, sampai ia menyadari ada sesuatu yang janggal.

"Hei, kenapa kasurnya hanya ada satu?" tanyanya sembari melirik satu-satunya tempat tidur yang ia lihat di kamar ini.

Teronggok dengan manisnya di sudut ruangan.

Kasur itu luas sebenarnya, cukup luas untuk digunakan oleh dua orang. Namun bagi Alice yang terbiasa menguasai ranjang seorang diri, berbagi tempat untuk tidur bersama orang lain bukanlah sebuah ide yang baik.

Hmm ... Alice, kesampingkan dulu keegoisanmu itu untuk sesaat, tidakkah kau memikirkan hal lain? Apakah kenyataan kalau kalian itu laki-laki dan perempuan sama sekali tak mengganggumu?

Mungkinkah anak ini memang masih terlalu polos? Hingga hal fatal seperti itu bahkan tak sampai ke otaknya yang katanya cerdas?

Yah, anggaplah begitu. Untuk Alice yang terbiasa tinggal hanya berdua dengan Madam Ann, sepertinya hal semacam itu tak jadi pikiran baginya.

Atau mungkin, bahkan justru tak sampai ke otaknya.

Ia menatap Sebastian, berharap orang itu akan menjawab 'itu milikku, punyamu akan diantar nanti'. Namun jawaban dari orang itu membuatnya putus asa kemudian.

"Setiap kamar memang hanya memiliki satu tempat tidur, agar ruangan dapat digunakan seefisien mungkin," jawab Sebastian kalem.

Alice terdiam.

Pupus sudah harapannya.

Hei, dia sudah cukup menderita karena harus berbagi kamar dengan makhluk menyebalkan ini....

The Lady and the DevilWhere stories live. Discover now