17|Bertemu

70 20 5
                                    


"Apa lagi yang kau inginkan? Apa kau belum puas membuatku hidup seperti ini? Demi Tuhan, aku sudah ikhlas dan tak peduli apapun yang berkaitan denganmu. Jadi tolong jangan tanamkan rasa benciku kembali karena melihat wajahmu" ujar Sanara. Wanita itu berusaha melepaskan tangan Garrick yang mencekal kuat lengannya.

Garrick tak lagi peduli dengan rekan kerja yang menunggu kehadirannya. Sosok wanita yang ia cari kini ada di hadapannya. Ini bahkan lebih penting daripada setumpuk uang menjanjikan di kursi rapat. Ini menyangkut keselamatan hidupnya. "Aku tahu kau masih berusaha mencari bukti, dan ingin membawaku ke meja hukum" bisiknya tajam, namun tetap berhati-hati. Sanara memberanikan diri menatap mata iblis itu dengan tatapan menantang. "Sama sekali bukan urusanmu. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai menantu yang berbakti. Semua orang harus tahu bahwa masih ada orang tidak tahu diri sepertimu" geramnya tertahan.

"Menelantarkan orang tuamu, berselingkuh dengan pelacur, mencampakkan anak dan istrimu, mencuri semua harta orang tua yang kau telantarkan tanpa memberi sepeserpun untuk mereka. Membiarkan kedua orang yang membesarkanmu dengan kasih berakhir pilu. Kau hidup bergelimang harta dengan wanita baru, sementara aku dan Aksa saat itu hanya bisa makan sehari sekali" suaranya terdengar tenang, namun perasaannya tengah dipenuhi kobaran api. Matanya dengan tegas menyatakan kebencian.

"Manfaatkan waktu emasmu. Tunggu sampai aku mendapat bukti pencurian besarmu, jangan harap wanita cantikmu itu masih mau menemanimu di lahan kosong" dengan sekuat tenaga ia menghentakkan tangannya hingga cekalan tersebut lepas, dan berlalu pergi meninggalkan Garrick.

Hukum alam bekerja. Pasti bisa. Suatu saat nanti, gilirannya melihat Garrick terkurung dalam derita.

. . .

Setelah sampai di rumah, Jonathan mengejar Aksa dan memeluk kaki pria itu erat-erat. Ia memohon agar Aksa bersedia menemaninya mencari apartemen Lindy agar bisa secepatnya memberi kejelasan tentang hubungan mereka. Awalnya, Aksa menolak. Dia tidak ingin ikut campur dengan urusan konyol Jonathan. Tapi setelah diiming-imingi penawaran, dengan berat hati, Aksa menerima ajakan tersebut. Dengan catatan Jonathan harus melindungi keberadaannya jika ada Senja di sana. Setelah mendapat informasi alamat apartemen dua gadis itu dari salah satu mahasiswi, mereka berangkat.

"Aku akan benar-benar membantingmu di aspal jika aku sampai bertemu dengan gadis itu" ujar Aksa sambil menyetir mobil dengan tidak ikhlas. Di sampingnya, Jonathan mengecek ponselnya berkali-kali, memastikan apakah mereka berada di jalan yang tepat. "Belok kiri, ah bukan, ke kanan. Ah, bukan juga. Menurutmu ini kanan atau kiri?" Tanyanya sambil menyodorkan ponselnya ke depan wajah Aksa.

"Idiot. Bahkan membedakan kiri dan kanan saja kau tidak tahu. Singkirkan ponselmu dari wajahku kalau kau tidak mau kita mati muda di sini"

Jonathan mencebik. Ia melihat ke depan, Aksa membawa mereka memasuki parkiran apartemen. "Kau sudah tahu tempat ini?" Tanyanya heran. "Dulu aku lumayan sering ke sini" ujar Aksa lalu mematikan mesin mobil. "Memangnya apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Jonathan lagi. "Benar-benar bukan urusanmu"

Mereka keluar dari mobil, memandang gedung apartemen yang menjulang tinggi di depan mereka. Aksa agak tak percaya jika dua gadis berisik yang selalu berhutang jika membeli makanan di kantin sekolah itu tinggal di sini. "Kau yakin merek ada di sini? Kurasa gadis berponimu itu tidak punya cukup uang untuk membayar biaya apartemen ini" tanya Aksa memastikan. Jika bukan di sini tempatnya, Jonathan pasti akan mencari alamat lain dan menyuruh Aksa membawanya ke sana. Itu melelahkan, dan tidak berguna.

"Aku yakin. Sakura bilang begitu. Apartemen nomor empat puluh tujuh di lantai tiga"

"Sakura tahu dari mana? Mereka baru bertemu hari ini"

MISS HORIZON [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora