1. Anggapan Pragmatisme

64 24 4
                                    

Jika bentala itu anitya biarkan mereka membelah jamanika sampai pupus lenggana yang menahannya.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃


3 Bulan Kemudian ....

Krinngg!! Krinnggg!!

Tuk!

Arina mematikan alarm dan mengucek matanya beberapa kali kemudian bangkit dari tempat tidur nya. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk seterusnya melakukan rutinitas di pagi hari. Setelah selesai mandi dan memakai seragam sekolah, Arina keluar dari kamarnya dan berjalan ke ruang makan.

"Pagi sayang," seorang wanita paruh baya menyapa Arina sebari menyimpan mangkuk berisi sup ke atas meja. Keseharian di pagi harinya memang seperti itu. Memasak dan menyiapkan makanan untuk keluarganya.

"Pagi, ibuu." Balas Arina.

Ia menggantungkan tasnya di kursi kemudian duduk. Lalu ia mengambil sebuah piring kemudian menyendokkan sesendok nasi dan beberapa lauk-pauk diatasnya. Ibu duduk di kursi kosong yang tersedia dan melakukan hal yang sama seperti Arina yang kemudian piring berisi itu ibu berikan pada pria paruh baya di sampingnya.

"Terima kasih, istrikuu," Ucap Ayah dengan tulus. Ibu hanya memberikan ekspresi biasa saja dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Hal itu memang sudah sangat biasa terjadi, jadi mungkin ibu sudah tidak merasa harus membalas dengan kata-kata yang menggoda kembali. Toh, ibu bukan tipikal orang yang seperti itu.

Di sela-sela memasukan dan mengunyah sarapannya, Arina tidak berhenti mengecek ponsel. Sesekali juga jemarinya bermain di atas benda pipih tersebut.

"Sayang berangkat mau naik angkot" Ayah bertanya padanya. Ia langsung meletakan ponselnya dan menatap Ayah.

"Iya ayah, Arin naik angkot." Jawabnya.

"Enggak mau ayah anterin pake si Stepen?"

"Enggak usah deh, yah, lagian ini masih pagi, angkot juga masih banyak. Ayah juga mau ke toko pagi-pagi 'kan hari ini?"

"Yaudah kalau gitu." Balas Ayah. Arina pun bergumam sambil memberi anggukan kepada Ayahnya.

Setelah beberapa menit sarapan Arina pun selesai. Ia segera membereskan sisa makannya lalu memakai sepatu.
"Ibu, Ayah, Arin berangkat sekolah dulu, Assalamu'alaikum," Ujar Arina sambil mencium tangan orang tuanya silih berganti.

"Wa'alaikumussalam." Jawab Ayah dan Ibu.

"Hati-hati dijalan nya ya!" Pesan Ibu dan mendapat anggukan dari Arina.

⏲⏲⏲

Pukul enam lewat empat puluh lima menit Arina sudah sampai di sekolah. Kini ia sedang berjalan di koridor untuk menuju kelasnya. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh meter akhirnya ia sampai di kelas. Arina langsung menyimpan tas dan duduk di kursi. Kelasnya masih sepi. Dari empat puluh murid yang menjadi penghuni kelas tersebut, yang selalu datang awal itu memang hanya segelintir orang, diantaranya ada Arina, tiga teman perempuan dan dua teman laki-laki. Dan ke-enam orang itu termasuk murid memiliki jarak tempuh ke sekolah yang cukup jauh. Hal itu bahkan sudah menjadi rahasia umum. Yang paling dekat biasanya yang datang terlambat.

Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi cukup nyaring memenuhi area lingkungan sekolah. Ruang kelas yang sebelumnya kosong kini sudah mulai dipenuhi oleh teman Arina yang lain. Secara bergerombol mereka berdatangan. Ada juga yang berjalan lurus untuk masuk ke kelas berikutnya. Arina dapat melihatnya karena kepala orang-orang itu dapat ia lihat dari jendela kelas.

SAUJANAWhere stories live. Discover now