7. TUHAN, KENAPA SESAKIT INI?

1.5K 142 9
                                    

Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu.

[Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]

"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk.

"Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin.

Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau.

"Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu.

"Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sadar merapatkan bibir.

Ia lekat memperhatikanku yang pupil matanya bergerak tak nyaman. Lalu berdehem, gerakannya yang sudah lembut jadi makin hati-hati.

"Anda tahu, Nyonya, wanita ataupun pria sesungguhnya sama saja, yang membedakan kita hanyalah seberapa kuat kita mampu menahan diri. Meski, menahan diri terkadang sangat menyakitkan dan melelahkan."

Pandangan kami bertemu, tapi sorot matanya tak memberi penilaian sama sekali. "Saya tentu bukan orang yang pantas memberi saran, saat saya lebih nyaman memiliki banyak kekasih dibandingkan seorang teman hidup. Gunting, sisir, alat make up--"

Tangannya berhenti bergerak sesaat.

"--Ah, akhirnya saya bisa membuat anda tersenyum, Nyonya." Ucapnya padaku yang merasakan sedikit rasa hangat dalam hati.

Dan itu, tidak menjadi senyum terakhirku saat lelaki yang begitu pandai mengolah topik berat menjadi ringan ini terus berucap, sampai tangannya berhenti bergerak.

"Make up itu seharusnya tak mengubah dan anda terlihat sangat mempesona."

Aku tak tahu itu hanya pujian kosong ataukah penghiburan darinya. Tapi, saat aku membuka mata, aku melihat wanita yang terlihat lebih pantas daripada wanita yang lupa pada alas kakinya kemarin.

"Terimakasih," ucapku pada lelaki berambut pink yang mengedipkan sebelah matanya padaku.

Rambutku ditata, wajahku dipoles, aku mengganti pakaian dan memakai heel.

Kaos, jins juga sepatu kets kusimpan dalam tas besar sementara aku mencangklong clutch warna merah di bahu.

Aku memandang tampilan diri sekali lagi sebelum keluar dari salon. Tempat berisi lelaki ramah yang mampu membuatku merasakan sedikit rasa hangat yang makin mendingin dalam tiap pijakan langkah.

Apalagi saat kakiku berdiri di depan wanita yang duduk begitu santai dan menatapiku dengan penuh penilaian.

"Silahkan duduk, Arini. Terimakasih sudah datang."

Aku hanya duduk di atas sofa yang serasa menusuki diri.

Sementara wanita di hadapanku--Anggita duduk dengan penuh percaya diri, tatapan matanya yang lurus bahkan sama sekali tak menunjukan rasa malu ataupun rasa bersalah meski jemarinya mengitari bibir gelas tanpa henti.

"Kamu ingin memesan sesuatu?"

"Tidak," jawabku singkat.

"Oh," balas Anggita mengangguk, ia masih memainkan jemari lentiknya pada bibir gelas dan saat selesai, kami sama-sama tahu ia akan mulai berbicara.

WITHEREDWhere stories live. Discover now