126. KEMBALINYA ISTRI YANG KABUR

712 87 7
                                    

Aku menatapi tiket kelas satu dengan tujuan Bandara Soekarno-Hatta di tangan.

Manik mataku bergerak gelisah di hadapan Kerry yang suara pelannya membuatku menelan tanyaku.

"Anda tidak usah khawatir, Nyonya, saya akan pergi setelah anda masuk ke dalam pesawat dengan selamat."

Aku menatap Kerry, ucapannya ini seolah memastikan aku tidak akan kabur kemana pun, kecuali menaiki pesawat yang tiketnya kupegangi dalam diam.

"Apa anda butuh sesuatu sebelum-"

"Tidak," jawabku memotong kalimat wanita yang pasti akan terus menempelku sampai pengumuman bagiku dan penumpang yang pesawatnya sama, siap untuk dinaiki.

"Kalau begitu mari, Nyonya."

Aku hanya mengangguk pada ajakan Kerry yang berjalan di sampingku, matanya sesekali melirikku yang hanya diam sampai kami berhenti.

"Good afternoon, Ma'am," sapaan ramah petugas bandara yang tampilannya begitu rapi membuatku mengangguk. "May I see your pasport and ticket?"

"Here," jawab Kerry membuat wanita yang senyumnya begitu komersil itu menatapi kertas yang Kerry bawa, ia diam beberapa saat sebelum menatap Kerry juga diriku yang hanya diam.

"Silahkan letakkan barang bawaan Anda di ban berjalan dan barang kecil anda di nampan."

Aku melakukan apa yang diperintahkan. Mulutku tidak banyak berucap kecuali menurut sampai aku duduk di gate nomer dua bersama Kerry.

"Ini boarding pass anda, Nyonya."

"Terimakasih," ucapku menerima selembar kertas yang tulisannya tak kuperhatikan.

Otakku masih terus bertanya, 'siapa yang menyiapkan semua ini untukku.'

Mengatur kepulangan ku seolah aku bukan imigran gelap yang tinggal secara illegal di negara yang sebentar lagi akan kutinggalkan ini.

"Nyonya, terimakasih sudah membuat Mariyam mengerti."

Aku yang mendengar nama Mariyam disebut, menoleh pada Kerry. Wanita yang pasti tak akan pernah menjawab apa yang sangat ingin kutanyakan.

"Maksud anda?"

Kerry tersenyum, kedua tangannya menyatu, sesekali jemarinya mengetuk telapak tangannya sendiri, "Mariyam bersikukuh tidak mau meninggalkan rumah penampungan, Nyonya. Ia masih berpikir kalau ia pergi, bagaimana cara orang tuanya akan menemukannya dan Ben."

Kerry menatapku, senyumnya terlihat mengembang, "membawanya bertemu dengan anda memang keputusan yang tepat meski Amber melarang."

Aku hanya bisa menunduk, tidak tahu apa yang harus kukatakan.

"Saya tidak tahu apa yang anda katakan pada Mariyam dan Ben, tapi, mempertemukan mereka sebelum pindah ke panti asuhan adalah hal yang tidak akan saya sesali."

Rasanya Kerry mendapat masalah untuk keputusannya itu, tapi aku masih tetap diam, mendengarkan.

"Ben dan Mariyam hanya satu dari sekian anak yang harus terpisah dari orang tua mereka. Beberapa anak memang harus dipisahkan dari orang tua mereka," Kerry menatapku, "karena tidak semua orang tua pantas disebut mom atau dad."

Aku meremas tanganku, menyadari siapa diriku yang adalah anak buangan. Anak yang sengaja ditelantarkan, bahkan saat usiaku masih hitungan hari.

Aku adalah anak yang keberadaanya disadari karena gigitan semut membuat badanku yang masih merah makin merah.

Setidaknya, itu yang dikatakan orang yang mengambilku dari tempat sampah. Membawaku kerumahnya, merawatku dan menajadikanku yang anak buangan ini, memiliki saudara. Sepuluh saudara!

WITHEREDWhere stories live. Discover now