Baju warna hijau yang ku kenakan terasa begitu dingin dan berat.
Selang infus yang menancap pun, seakan menyatu dengan tanganku.
Aku merasa begitu kosong. Meskipun, rasa menusuk yang kurasakan nyata adanya.
Aku bahkan tak bisa menangis saat aku menyentuh perut rataku.
Sesuatu yang seharusnya tumbuh sudah tidak ada lagi.
Sesuatu yang kehadirannya sama sekali tak kusadari, sudah dikeluarkan saat aku tak sadarkan diri.
Sesuatu yang seharusnya kusyukuri keberadaanya sudah menghilang karena dokter mengambilnya.
'Tidak! Bukan! Bukan dokter, tapi aku!'
Aku yang bahkan tak menyadari kehadirannyalah yang membuat Tuhan mengambilnya lagi dariku.
Aku yang membuatnya pergi.
AKU!
Bukan dokter ataupun stres yang selama tiga bulan terakhir ini kurasakan.
Aku sudah membunuh darah daging yang bahkan kehadirannya tak kusadari.
Aku sudah membunuh anakku sendiri karena kelalaianku.
Dan aku, bahkan tak mampu mengeluarkan airmata untuknya yang keberadaanya sudah tak tersisa lagi di rahimku.
"Anakku... Anakku... Anakku... Maaf...."
Kalimat itu terus kuucapkan dalam bisu, ucapan maaf yang begitu terlambat pada anakku yang bahkan jenis kelaminnya tak bisa kuketahui. Perempuan ataukah lelaki.
Manusia macam apa aku ini?
"Maafkan mama, Nak."
Sehancur apa hatiku? Tubuhku? Batinku? Jiwaku? Aku bahkan tak mampu mengukurnya kini.
----
-----
------Derap langkah yang terdengar, membuatku yang sama sekali tak bisa tidur menoleh pada pintu ruangan rawat inapku yang dibuka.
"Apa kabar anda, Nyonya?"
Pertanyaan basa-basi yang keluar dari seorang suter muda, membuatku diam. Sementara dokter yang bersamanya melakukan pengecekan pada diriku.
"Semuanya baik-"
"Kapan saya bisa pulang, Dokter?" Tanyaku pada wanita yang mengambil Fetus dari rahimku.
Wanita yang melakukan kuretasi padaku yang langsung dibawa ke rumah sakit setelah pingsan di cafe tempatku bertemu Anggita.
Ia melirik suster di sampingnya sesaat sebelum menatapku.
"Anda bisa pulang setelah menyelesaikan administrasi, Nyonya," jawab suster yang menatapku penuh penilaian. Namun, aku terlalu tak perduli dengan apa yang ia pikirkan.
"Nyonya, saya harap anda datang lagi tiga hari setelah hari ini, untuk melakukan pengecekan lanjutan. Semoga tidak akan terjadi komplikasi apapun setelah anda pulang dan jika anda merasa sakit setelah tiba di rumah, saya harap anda langsung datang lagi dan kita lakukan pengecekan lanjutan."
Aku hanya mengangguk sampai dokter menyentuh tanganku, "saya tidak akan mengatakan kehilangan seorang anak adalah hal yang wajar, ini adalah hal yang tidak bisa diukur dengan kata-kata."
Begitu lembut tutur kata wanita yang menggenggam tanganku ini.
Mungkin, beginilah sikap seorang ibu saat menenangkan anak-anaknya.
"Tapi, trismester awal memang waktu yang sangat rawan untuk wanita yang mengandung," ia mengusap tanganku begitu hati-hati, "apalagi jika anda mengalami tekanan batin."