Aku membuka mata terpejamku saat merasakan tangan kokoh yang memelukku, pemiliknya benar-benar terlelap. Perlahan aku mengangkat tangan Ken dan mengganti diriku dengan bantal agar bisa ia peluk.
"Ugh...," keluhku saat bergerak merasakan tubuh bagian bawahku tak biasa.
Namun, rasa tak nyaman dan basah di bagian intim kuindahkan saat aku berjalan memunguti pakaian.
'Kemana perginya celana dalamku?'
Aku berkeliling tapi tak menemukan apa yang kucari.
Melihat jam, kuputuskan untuk memakai apa yang sudah ada di tangan karena harus bekerja. Kuharap siapapun yang menemukan celana dalamku besok, tidak akan tahu jika salah satu tenaga pembersih-lah pemiliknya.
Meski tak ingin, setelah memakai baju dengan pelan agar tak menimbulkan suara, aku menatap tubuh lelap Ken yang memeluk bantal.
Posisi tidur Ken membuatku mengingat Banyu. Seketika perasaanku tak nyaman.
["Mama."]
Sekali lagi panggilan Banyu terngiang tak hanya di telinga. Dan, tak butuh waktu lama untuk diriku merasa aku sudah melakukan hal yang salah.
Tapi, aku sendiri yang menginginkan hal ini terjadi.
AKU!
Bukan Ken yang ragu menyentuhku meski pada akhirnya ia terlibat dalam penyatuan kami.
'Apa Anggita pernah merasa seperti ini saat Ken memeluknya?'
Merasa buruk sampai tak bisa mengatakan apa yang dirasakan dan hanya bisa menggenggam erat tangannya sendiri seperti yang sedang kulakukan detik ini?
Aku sungguh bodoh, benar-benar bodoh. Tidak mungkin Anggita memiliki pemikiran seperti diriku!
Setelah menyambar tas dan jaket, aku cepat-cepat keluar dari kamar yang penghangatnya kunyalakan.
Aku bahkan merasa malu saat menatap pintu kamar Banyu yang tertutup dan berjalan makin cepat.
Kepalaku otomatis menunduk seolah aku baru melakukan kesalahan besar meski tak seorang pun ada di lorong. Tapi, CCTV yang menyala membuatku sadar diri dan memencet lift cepat.
"WAIT!!"
Seruan itu membuatku menahan tombol hold agar pintu lift yang hampir tertutup tak benar-benar menutup, rasanya aku pernah mengalami ini. Tapi kapan dan di mana? Entahlah.
Namum, bibirku tetap tersenyum meski hanya segaris tipis saja yang tercipta.
"Thank you," ucap suara lembut yang membuatku mengangguk lalu mundur dan hanya melihat heel merah yang menempel begitu pas pada kaki perempuan yang parfumnya begitu-- wangi adalah kata yang terlalu mudah untuk menggambarkan aroma yang kucium, 'tidak menyengat, hanya saja sedikit menusuk.'
Aku merasa sedikit heran saat gadis itu tak memencet tombol lift agar tertutup, sampai ia melongok keluar dengan tak sabar. "Hurry up!"
Suara cekikikan manja dan ramai, terdengar. Membuatku makin mundur karena tiga gadis dengan tampilan yang rasanya sama, begitupun aroma parfum mereka memenuhi lift dengan obrolan yang tak menarik menurutku.
"Kalau aku tahu kita akan tinggal di kota sepi seperti ini, aku akan memilih tinggal di Las Vegas dan menghabiskan uangku. Setidaknya aku memiliki hiburan."
"Hiburan macam apa? Tidur dengan bule-bule yang begitu mudah kita temukan di bar atau cafe?"
"Huh, setidaknya mereka tidak setua orang-orang di kota antah berantah ini."