Tidak ingin mencari masalah dengan gadis yang masih memberiku sikap permusuhan, aku menunduk untuk mengambil sendok yang ia jatuhkan.
"See, itu memang pekerjaannya, bukan?"
Tawa senang kembali terdengar.
"Apa aku perlu melemparkan sendokku juga?"
"Lakukan saja, gembel ini pasti akan mengambilkannya untukmu."
"Ugh, tapi itu menjijikan saat aku bahkan tak ingin lagi menggunakan sendok yang ia sentuh."
"Aku justru takut ada penyakit dan virus yang menempel pada tangannya itu."
Kurasa yang mereka bicarakan bukan virus influenza yang sedang ku derita. Namun, aku tetap memilih diam meski saat aku mencoba tegak lantai yang kupijak jadi sangat bergelombang.
Aku yang bisa menjaga keseimbangan ku, akhirnya bisa berdiri, "saya akan meminta pegawai hotel membawakan anda sendok baru, Nona."
Mata Nabila membesar saat aku tetap melakukan apa yang memang seharusnya kulakukan. Tidak perduli apa kedudukan ku, aku tetap pegawai hotel tempat empat gadis ini menginap. Mereka adalah tamu akan bersikap setaksopan apa mereka berperilaku.
"Let, me," ucap pelayan dengan nampan di tangan meminta sendok yang kubawa, ia menunjukan senyum pada empat orang gadis yang tampak tak senang, "sendok anda, Nona," ucapnya dengan senyum komersil meski saat menoleh padaku senyumnya hilang diganti wajah malas sembari menjulurkan lidahnya.
Aku menunduk pamit lalu keluar menemui Hugo yang membuka pintu depan. Tampaknya ia tahu aku akan menolak duduk di kursi belakang.
"Hai." Sapanya padaku yang mengangguk.
"Hai," jawabku memasang sabuk pengaman.
"Siap untuk pergi?"
sekali lagi aku mengangguk dan menyandarkan kepalaku yang terasa makin berat, 'apa Rose punya obat untuk demam?'
Aku menarik nafas dalam, mengingat wanita tua yang rajutannya pasti hampir selesai kecuali ia ingin membuat yang baru.
Semalam aku tak bertemu dengan Rose. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentang Ken yang menemaniku seharian kemarin. Apalagi saat kuingat ucapan Carter yang mengatakan wajah Rose begitu tampak ingin tahu.
"Apa kau tak nyaman?"
"Yes?"
"Well, kau menarik nafas panjang-panjang beberapa kali " ucap Hugo yang irit kata, "sebaiknya kau turunkan sandarannya agar badanmu lebih nyaman."
"It's ok, but thanks."
Hugo hanya mengangguk dan kembali menutup rapat mulutnya. matanya tetap fokus ke depan tanpa menoleh ke arahku. Ia bahkan matikan lagu Frank Sinatra yang mengalun pelan dan tak berucap sama sekali sampai mobil yang ia kendarai berhenti di depan pintu rumah Rose.
Aku yang sedang melepaskan seatbelku terkejut Hugo sudah membuka pintu di sampingku, "istirahatlah yang cukup itu akan membuat sakitmu lebih baik."
"Terimakasih." Aku yang sudah turun membungkuk dalam, begitupun Hugo yang melepas topinya sebelum pergi.
Saat aku masuk, Rose yang ku tahu mengintip dari jendela, buru-buru memegang hakpen yang benangnya menggelinding ke arahku.
"K- kau sudah pulang?" ucapnya padaku yang biasanya pulang lebih cepat.
"Iya, aku menunggu Muray," jawabku mengambil benang dan jatuh terhuyung.
"MIRA! are you ok?" tanya Rose tak lagi perduli dengan rajutannya yang jatuh dari pangkuan.