'Apa yang kehidupan ajarkan padaku?'
Aku bisa menjawabnya dengan sangat mudah, "aku harus bersyukur pada apapun yang datang dalam kehidupanku."
Kasih dan rasa kasihan karena aku anak yang dibuang saat usiaku masih hitungan hari, harus kusyukuri.
Hidup dan tumbuh bersama sepuluh saudaraku meski harus kehilangan salah satunya, aku tetap diajarkan harus bersyukur karena bisa keluar dari rumah pertamaku yang menyesakkan.
Meski keluarga suamiku tak menyukaiku, aku harus bersyukur dan terus bersyukur Ken memenuhi hariku dengan tawa dan ketenangan.
'Tapi, apa aku juga harus bersyukur atas kematian anakku yang berjuang untuk hidup?'
Rasanya ... rasanya kalimat itu bahkan salah untuk diucapkan.
Namun, bersyukur untuk apa yang datang menyapaku adalah apa yang kehidupan ajarkan pada diri.
Hanya saja, seluruh diriku menolak untuk mensyukuri kematian anak yang akan terus menjadi anakku sendiri.
Jika aku bersyukur akan kepergiannya, seolah dengan tanganku sendiri aku menghapus keberadaanya.
'Kalau aku harus bersyukur ia tidak lahir, kenapa mataku tetap basah saat aku membuka mata di ruangan yang terasa femiliar namun asing?'
'Kenapa dadaku tetap merasa sesak saat aku bangun, menatap langit gelap yang badai saljunya sudah berhenti?'
Sruk!
Meski ingin terus merebahkan diri, aku memilih bangun setelah menyibak selimut hangat dalam ruangan sepi yang pemiliknya tidur di sofa.
"Ugh," lenguhan pelan dari bibir yang matanya tertutup itu membuatku urung beranjak pergi dari ruangan yang terasa hangat.
'Panas sekali,' batinku menempelkan tangan pada dahi berkeringat yang membuatku menurunkan suhu ruangan.
Aku hanya berpikir lelaki yang terlihat kesakitan saat tidur ini, pasti lebih senang jika ruangannya dingin.
Aku yang tidak membawa apapun kecuali pakaian yang kukenakan menatap laci.
"Tuan, maaf, saya harus mencari handuk kecil di lemari anda," ucapku pelan lalu berdiri.
Mataku menatapi setumpuk perlengkapan hotel dalam laci lalu mengeluarkan dua handuk kecil yang langsung kubawa mendekati tubuh Rexy yang berkeringat.
"Excuse me, Sir."
Perlahan aku mengelap wajah, leher juga lengan Rexy dengan handuk yang sudah kubasahi dengan air dingin, sementara keringatnya sudah lebih dulu ku lap dengan handuk kering.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini memberi pengaruh pada lelaki yang badannya masih begitu panas ini atau tidak. Namun, pernafasan Rexy tak terlihat begitu berat saat aku sudah selesai mengelap tubuhnya dalam ruangan yang kembali dingin, meski aku tak mematikan penghangat ruangan sepenuhnya.
Aku yang sudah berdiri, menatap pintu dan tembok kokoh yang seakan bisa kutembusi dengan sorot mataku yang bisa membayangkan Anggita.
Tanpa sadar, tanganku meremas kuat handuk yang sedang ku pegang, merapatkan mulutku untuk kalimat apapun yang terngiang-ngiang di benak.
"Tuan, ... tolong izinkan saya tinggal sebentar lagi, hanya sebentar lagi," pelan aku berucap. "Karena anda- ... anda tampak sedang membutuhkan seseorang untuk mengelap keringat Anda."
Seolah menemukan alasan untuk tidak keluar, aku kembali duduk di atas lantai dingin yang rasanya jadi tak terasa, 'kuharap aku tak perlu membersihkan kamar Ken malam ini.'