"Maaf."
Aku terus membisu, tak ingin menjawab ataupun memberi respon.
Pikiranku yang jadi kosong karena satu kalimat yang tak hanya merasuk pada telinga, namun juga bagian terdalam rasaku, tidak ingin kujawab dengan apapun.
Tidak dengan suaraku tidak pula dengan gerak tubuhku yang hanya diam membisu.
Sampai kurasakan tangan bergetar yang memegang pergelangan tanganku terlepas lalu menjauh dengan meninggalkan rasa panas yang dingin.
Tanpa suara, aku berjalan keluar dalam diam meski langkahku menggema dalam ruangan yang jadi sepi dan sunyi.
[Maaf.]
Sementara ucapan Ken yang terdengar pelan dan penuh kesungguhan, menggema dalam otakku yang tak menjawab apapun.
Klekk! Bip! Piip!
Pintu kamar VVIP yang akhirnya tertutup, membuatku diam dengan tangan gemetaran, mataku yang tergenang air makin panas dan bibirku bergetar.
Aku tidak tahu wajah seperti apa yang sedang kutunjukan pada tembok dan pintu yang hanya bisa memandangiku dalam bisu. Tapi, isakku kutahan meski airmata mengalir membasahi seragam yang kupakai, melupakan CCTV yang pasti meyorotku duduk di lorong sepi, di antara tembok dan pintu-pintu kamar yang rapat tertutup.
Aku menangis tanpa isak yang sengaja tak kuperdengarkan, sedu-sedanku kutahan agar tak keluar.
Hatiku terasa begitu perih dan rasanya aku tak mampu menahan sesak yang kurasakan, sampai ku dengar pintu terbuka dengan lelaki yang menatapiku dari tempatnya berdiri.
"Bisa kau bersihkan kamarku?" tanpa basa-basi kalimat itu terucap.
"Now."
Perintah itu tertuju padaku yang pipinya basah.
Aku bahkan tidak tahu wajahku terlihat seperti apa, kecuali mataku perih dan hidung berairku terasa gatal.
Namun, lelaki yang menyuruhku membersihkan kamarnya sama sekali tak canggung. Ia bahkan membuka pintu kamarnya makin lebar.
"What you waiting for?"
Merasa diingatkan, aku menghapus pipi basahku cepat dan langsung berjalan masuk ke dalam kamar yang pintunya lebar dibuka.
Dingin. Itu rasa pertama yang menyapa saat berada dalam ruangan yang tak berantakan sama sekali.
Kecuali mejanya.
Sebotol sampanye yang sudah berkurang isinya ada dalam basket kecil berisi es batu. Gelas yang isinya tinggal sedikit tepat berada di pinggir meja. Juga satu gelas lagi yang masih bersih, belum disentuh minuman apapun.
Aku menatap sepasang sepatu mengkilap di atas lantai yang makin berkilau terkena cahaya. Sepatu yang rasanya tak asing dan membuat rambut halusku berdiri, ngeri. Seketika aku merasa takut.
"That shoe, bisa kau letakan di kamar itu," ucap lelaki yang berdiri dengan menyedakepkan tangan, ia bersender pada daun pintu yang rapat tertutup. Dagunya yang bergerak membuatku menatap kamar dengan pintu tertutup.
"Apa aku harus memberimu tip dulu baru kau mau bergerak?"
"N-no, Sir," jawabku memungut sepasang sepatu juga kaos kaki warna hitam dari lantai, "Sir?"
"What?" Pria berbadan tinggi dengan mata berwarna hijau keemasan itu mengangkat sebelah alisnya tinggi, ia berjalan lalu duduk dan meminum sampanye dalam gelas yang ia isi penuh sampai habis, "kau ingin tip-mu sekarang?"