130. SENYUMKU BAGI DUNIA

375 52 2
                                    

           ************************

"ini sudah 3 hari dan kamu sama sekali belum mendapat kabar apapun, Tian."

"Baru tiga hari, Tuan," ucap lelaki yang yang potongan uppercut-nya begitu menonjolkan garis wajahnya yang tegas, "nyonya sudah pergi lebih dari lima tahun dari s isi anda, Tuan, apa artinya tiga hari?"

Tian bisa mendengar tarikan nafas yang terdengar hampir hilang kesabaran. Namun, apa yang ia katakan adalah kebenaran.

Lelaki yang sedang bicara dengan dirinya adalah suami yang membuat istrinya pergi. 

Apa Tian tidak punya empati? Hah, siapa yang perduli dengan empati saat ia bisa melihat sendiri, bagaimana wajah wanita mungil yang rasanya sudah begitu ia kenal bahkan tawanya ia hafal berkat potret-potret yang ia lihat, sama sekali tak pernah menunjukkan senyum sepanjang penerbangan. 

Wanita bertubuh mungil yang tawa tulusnya ia hafal dari potret ini, bahkan seakan takut memandang mata lawan bicaranya. Matanya terlalu sering menunduk ke bawah, seolah jika ia tak melakukan hal itu sesuatu yang buruk akan terjadi.

'Apa saya masih bisa bersimpati pada anda, Tuan?' batin lelaki yang jadi begitu sibuk. Bukan karena pekerjaan menumpuk, tapi karena ia sibuk mencari istri bos-nya yang kembali menghilang.

"Saya sudah menemui supir taksi yang mengantar nyonya ke stasiun, bahkan saya juga mengecek kursi yang dipesan nyonya memang benar milik nyonya. CCTV pun tak luput dari pantauan kami. Tapi, nyonya seolah menghilang setelah turun dari taksi."

Telinga tajam Tian kembali mendengar tarikan nafas Ken yang dalam, bahkan berat. Seakan begitu banyak beban yang sedang Ken rasakan saat ini.

Namun, pria yang potongan undercut-nya begitu rapi ini, wajahnya sama sekali tak berubah. Ia tak menunjukan setitikpun empati atau pun rasa kasihan.

"Tuan, apa menurut anda tidak sebaiknya kita biarkan nyonya-"

"Jaga ucapanmu, Tian."

Mendengar itu, Tian langsung menegakkan tulang punggungnya. Tatapannya jadi lurus sebagaimana wajahnya yang begitu kaku. 

'Apa aku sudah melewati batas?' sorot mata Tian seolah bertanya, namun, bibirnya rapat tertutup ketika telinganya kembali mendengar suara dingin yang mampu membuat rambut-rambut halusnya berdiri.

Belum genap dua Minggu Tian tidak bertatap muka dengan lelaki yang suara dinginnya membuat ia sadar, ada garis yang seharusnya tidak pernah ia lewati. 

Dan kali ini, mungkin garis yang sudah ia tentukan sendiri, ia langgar.

Namun, apa yang salah saat ia mengatakan sesuatu yang benar adanya. Sekalipun, bos yang suaranya jadi benar-benar membuat kulit tangannya berkeringat ini berubah begitu dalam meski tak berteriak.

"Tuan, apa menurut anda nyonya sudah tahu, jika andalah orang yang membuatnya bisa pulang tanpa harus melewati banyak prosedur birokrasi yang melelahkan?"

Meski tak mendengar suara balasan, Tian tahu, Ken masih mendengarkan ucapannya. Ataukah, bos-nya ini jadi benar-benar diam karena ucapannya barusan.

"Urusanku hampir selesai, kuharap saat aku kembali, kau sudah menemukan di mana Arini."

Tut! Tut! Tut!

Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon langsung terputus. Bahkan, sebelum Tian bisa menyebut panggilannya untuk sang bos. 

Tian yang masih memegangi posel jadi terlihat lemas, dipandanginya layar ponsel yang sudah mati, "apa anda sudah sadar, jika nyonya mungkin tidak ingin bertemu dengan anda lagi, Tuan?"

WITHEREDOnde histórias criam vida. Descubra agora