"Jika kamu dan Ben lelah berharap, maka tumbuhlah menjadi dewasa lalu cari mereka. Meski Aunty tidak mengenal siapa umi dan abi-mu, tapi Aunty tahu mereka pasti sangat menyayangi kalian berdua."
Apa ucapanku berlebihan? Saat aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua ataupun sentuhan mereka?
Tapi, rasanya aku akan menyesal jika tidak mengatakan apa yang aku ucapkan, "tumbuhlah dewasa lalu cari mereka."
Orang tuaku berbeda dengan orang tua Ben dan Mariyam.
Ben dan Mariyam tumbuh dengan kasih ayah dan ibu mereka, sekalipun harus pergi mencari kehidupan yang lebih baik di negara asing. Sementara diriku adalah anak yang dibuang di tempat sampah dalam hitungan hari.
Aku tidak mengenal bagaimana senyum dan sentuhan orang tuaku, sementara Ben dan Mariyam pasti mendapat lebih dari sekedar senyum dan sentuhan lembut orang tua.
Mereka tahu sehangat apa pelukan seorang ayah dan ibu bisa terasa, mereka tahu bisa senyaman apa perlindungan ayah dan ibu mereka. Sementara aku, 'aku bahkan tidak tahu apa kehadiranku pernah diinginkan baik oleh ayah ataupun ibuku.'
"Bagaimana- ... bagaimana kalau kami tidak bisa menemukan umi dan abi, Aunty?"
Kurasa anak yang melarang adiknya untuk memanggil orang tua mereka dengan sebutan umi dan abi ini bahkan tidak menyadari ia memanggil mereka dengan kalimat yang ia larang.
"Kamu tahu Mariyam, tidak ada orang yang bisa membaca masa depan juga kehidupan seperti apa yang akan kita jalani setelah kita tidur," ucapku pada gadis kecil yang manik matanya terus memperhatikanku, gadis kecil yang baru kali ini mengajakku bicara.
"Mungkin kamu hanya harus terus merasa yakin suatu saat nanti kamu dan Ben akan bisa bertemu dengan abi dan umi-mu. Maka dari itu, tumbuhlah dengan selalu mengingat mereka juga mendo'akan keduanya dimana pun berada. Karena Aunty yakin, umi dan abi-mu pasti juga mendoakanmu dan Ben setiap saat."
Rasanya hatiku perih saat mengatakan hal ini, saat diriku bahkan meragukan orangtuaku sendiri pernah mengingatku dalam hari-hari mereka. 'Atau pernahkan mereka menyelipkan diriku saat mereka berdoa.'
"Apa Aunty juga terus mendoakan ayah dan ibu Aunty?"
Mataku membesar, mulutku terasa kelu seketika. Dan perasaanku begitu berat saat kepalaku mengangguk karena aku memang tidak pernah meminta sesuatu dari Tuhan-ku untuk keduanya, untuk ayah dan ibuku.
Tidak do'a yang baik, tidak juga pinta yang tidak baik.
Mereka hanya orang yang tidak pernah muncul dalam do'a-do'aku. Tidak sekalipun.
Ayah dan ibuku, seasing itulah mereka bagiku, bagi duniaku, bagi kehidupanku.
Aku terhenyak saat tangan Mariyam menyentuh tanganku yang mengusap pipinya. Meski matanya basah, senyum Mariyam terlihat-
"Aku- ... aku akan terus mendo'akan kebaikan dan keselamatan untuk abi dan umi, Aunty."
Aku mengangguk, tapi ucapkan Mariyam yang berikutnya seakan menampar diriku.
"Seperti Aunty yang juga mendo'akan ibu dan ayah Aunty."
-------
---------
----------
Saat Rexy kembali, aku sudah duduk sendirian di sofa, sementara Mariyam menyusul Ben yang lelap."Apa kakimu masih sakit?"
"Tidak terlalu, Tuan," jawabku pada lelaki yang duduk di sampingku.
"Anda ingin minum sesuatu?" Tanyaku lagi saat aku tahu pilihan di dalam kulkas hanya ada minuman yang tak boleh diminum anak-anak.