"Apa Anggita tahu kamu menemuiku dengan membawa Banyu, Ken?"
Ken yang tangannya masih menyentuh kepalaku tetap diam, "atau kamu datang tanpa memberitahu siapapun termasuk ibu?"
Saat mata kami bertemu, aku tahu tak ada yang tahu Ken datang menemuiku.
"Itu tidak penting, Ri."
Aku yang menatap Ken, tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat mendengar jawabannya. Bahkan, suara Ken berubah dingin, "mereka tahu ataupun tidak, itu tidak penting."
Aku menggigit bibir bagian dalamku saat melihat Ken sungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan. Mulutku yang ingin berkata bagaimana hal itu bisa jadi tak penting, memilih bisu.
Bukan karena aku tak memikirkan apapun. Tapi, karena seluruh diri Ken memancarkan sesuatu yang membuatku meremas tanganku sendiri.
Aku yang sudah terbiasa tak ingin mencampuri urusan orang lain, hanya bisa diam rapat mengatupkan mulutku. Lima tahun tinggal di kota asing yang dingin ini, membuatku terbiasa mengacuhkan banyak hal yang terjadi di sekitarku.
Pengalaman mengajarkanku jika tak bisa melakukan lebih, lebih baik simpan apapun yang kupikirkan rapat-rapat atau seseorang akan terluka lebih parah dari seharusnya.
Aku tidak tahu seberapa banyak diriku berubah.
Hidup bersama Ken dan mengetahui apa arti diriku dalam pernikahan kami, sungguh membuatku menjadi orang yang tak kukenali dan sebanyak apa jati diriku menghilang.
Aku tak lagi bisa melihat 'normalku' lagi. Aku hanya wanita yang memilih pergi meninggalkan segala yang ku ketahui, ku miliki atau setidaknya pernah menjadi milikku jika aku boleh menyebutnya seperti itu.
Ken tampak menungguku bereaksi. Tapi, aku hanya menutup mulutku.
Bibirnya mengulas senyum meski wajahnya sama sekali tak tertawa.
Diusapnya sekali lagi kepalaku sebelum ia duduk dan melajukan mobil membelah jalanan lengang yang seharusnya dingin dan beku.
"Sampai sini saja." Ucapku melepas seatbelt dan membuka pintu, "terimakasih."
Ken diam memperhatikanku yang turun dari mobilnya, ia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi memilih menelan apapun yang ingin ia ucapkan.
Halte lengang dan sunyi seperti biasa. Begitupun di sepanjang jalanku. Para pemilik rumah lebih memilih diam di depan perapian, daripada berteman dengan dinginnya cuaca dan salju yang akan semakin menumpuk tinggi jika tidak di berpinggirkan.
Rumah Rose tak pernah dikunci kecuali tiba saat waktunya ia tidur. Meskipun begitu, aku selalu menyimpan kunci rumahnya di dalam tasku.
Aku masuk setelah membersihkan buliran salju yang menempel di pakaian dan hoody.
Cklek!
Bunyi pintu yang ku buka membuat Rose mendongak dari rajutannya. Senyumnya mengembang, menyambutku seperti biasa.
Mata tuanya yang dibungkus kacamata berlensa tebal, terlihat berkilauan begitupun hakpen yang sedang ia gunakan untuk merajut mahakarya yang semakin panjang.
Ternyata ia sedang membuat syal dengan aksen bunga lili di bagian tengah.
"Home early?"
Karena aku tak perlu menunggu trem aku pulang lebih cepat dari biasanya, "ya. Aku ke atas dulu."
Rose memperhatikanku yang mengulas sebaris senyum di bibir, ia diam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk, "kau sudah sarapan, Mira? aku punya sup kacang jika kau mau."