42. MENGINDAHKAN RASA BERSALAH

763 69 0
                                    

Lelaki tua yang akhirnya bangkit dari kursi setelah menyelesaikan makan malamnya itu menatap Ken tanpa kata.

Sementara istrinya mendorong stroller dengan bocah mungil yang tangannya menggapai-gapai udara dengan semangat, meski sudah jam sembilan lewat. 

"Darling?" panggil wanita bertubuh tambun itu pada sang suami yang masih bertukar tatapan dengan Ken, "what you doing?"

Lelaki tua itu menarik nafasnya dalam dengan wajah berkabut lalu pergi setelah melepas topinya dan mengangguk pamit padaku yang masih diam. 

"Nothing, let's go home."

Senyum lelaki tua itu menambah keriput di wajahnya yang terlihat sendu. Tangannya merangkul wanita ramah yang melambai padaku yang menundukkan kepala. Sementara Banyu melambai masih dalam pangkuan Ken.

Setelah mereka tak lagi terlihat, meja makan jadi sepi. Bahkan, bocah berusia dua tahun yang kecupannya masih bisa kurasakan di pipi, bisa mengerti. 

"Pa-," Banyu menatapku dan Ken bergantian, mata bulatnya terlihat bingung sampai kudengar gemuruh perut yang membuat wajah kecil di hadapanku memerah.

Banyu terlihat eperti anak yang sudah melakukan kesalahan. Ia menundukkan kepalanya begitu dalam dengan bibir tertutup rapat. 

"Ma ... maaf."

Dengan suara yang begitu kecil, Banyu makin menunduk. Dua pusar rambutnya bahkan jadi terlihat makin jelas. 

Aku tidak mengerti kenapa bocah berusia dua tahun yang tadi begitu semangat berceloteh, jadi merasa bersalah hanya karena perut kecilnya berbunyi.

Sementara Ken hanya diam memperhatikan diriku. 

Pandangan kami bertemu, manik hitam Ken seakan menenggelamkan diriku dalam banyak rasa yang tak ingin ku akui. 

Nyatanya benar, ucapan pria tua tadi tak hanya mengganggu diriku. Tapi juga suami yang kutinggalkan lima tahun lalu.

Ken juga merasakan sesuatu. Hanya mulutnya saja yang tak berucap. Seluruh diri Ken mengatakan kalimat yang membuat tanganku mengepal kuat di bawah meja. 

Meja kami yang jadi benar-benar sunyi di antara tawa pengunjung juga sendok dan garpu yang beradu. 

(What is happen is happen.)

Aku mengingat kembali ucapan pria tua yang rasanya bisa membaca kehidupan macam apa yang ku jalani bersama Ken.

Instingku mengatakan tatapan manik berwarna abu-abunya seolah bisa melihat apa yang sudah terjadi antara Kami. 

Dan ia benar. Yang sudah terjadi, terjadi.

Baik aku maupun Ken, tidak akan bisa mengulang waktu. Begitupun dirinya yang kehilangan sang putri dengan segala kesesakan yang sedikit banyak bisa kurasakan. 

Penghianatan suami pada ikatan suci yang menjadikan Tuhan sebagai saksi. Apapun alasan yang melandasi ikatan suci itu terjadi, dalam ajaran apapun tidak akan ada yang membenarkan kehadiran orang ketiga. 

Putri pria tua itu yang mati. Aku yang hidup tapi tida benar-benar hidup. Senyum dalam tangis wanita tua yang menyesalkan kehidupan sang putri. Wajah tegar yang ditunjukan pria tua itu dalam sendu. 

Kurasa ..., 'penghianatan sungguh berdampak luas, lebih dari yang bisa dibayangkan benak dan pikiran manusia.'

Namun, apa yang sudah kami pilih dalam hidup tidak bisa membenarkan ucapan Banyu yang merasa bersalah hanya karena perut kecilnya protes minta diisi, bukan?

Apa yang sudah terjadi antara aku dan kedua orang tuanya, tidak bisa membenarkan wajah sedih yang tercipta di wajah berpipi gembil itu, bukan? 

Meski sadar tidak seharusnya aku mendekatkan diri, aku berdiri lalu duduk di hadapan Banyu.

WITHEREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang