"Hei, apa kau sudah melihat secantik apa ibu dari bocah lucu yang ayahnya kau goda itu?"
Aku yang sedang mengisi jadwal hadirku bahkan tak melirik Liyde. Aku hanya terus menulis dan menunggu ia menyerahkan daftar list kamar yang rasanya ingin ia simpan selamanya.
"Asal kau tahu, Mira, kau sama sekali tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita cantik itu. Aku heran, bagaimana mungkin GM baru kita melirik padamu?"
"Saya butuh list saya, Liyde," ucapku tak ingin menanggapi.
"Apa kau tak pernah bercermin, Mira? Atau aku perlu membawa cermin besar agar kau bisa mengaca untuk melihat tampilanmu sendiri." Liyde mendecakkan lidahnya keras," tch, tch, tch! Aku heran bagaimana ada orang yang mau membayarmu yang seperti orang bisu ini? Ataukah ucapan orang benar tentang orang pendiam, mereka liar di atas ranjang."
Aku hanya terus diam, membiarkan wanita tua yang terus memegang daftar list-ku bicara semau otaknya berpikir. Toh, tidak ada gunanya aku membantah, saat aku yang sudah pernah mengatakan aku tak pernah menjual diriku tetap ia nilai seperti itu.
Namun, seringaian Liyde tercipta, ia sengaja membaca daftar kamar yang harus kubersihkan, begitu keras dan jelas sampai ia menatapku dengan pandangan penuh ejekan yang rasanya sudah kuhafal dua hari ini.
"Apa pak GM sudah tak butuh jasamu lagi?"
Liyde menatap kertas yang ia kibaskan di hadapanku sekali lagi. Senyumnya bahkan mengembang meski saat melihatku, sorot penuh ejekan juga kasihan tercetak jelas.
"Kurasa, kau harus mencari pelanggan baru, Mira, tidak mungkin GM kita mau berjauhan dengan istrinya yang cantik dan mempesona itu, bukan?"
'Istri?'
Seandainya saja wanita tua ini tahu. Wajah macam apa yang akan ia tunjukan padaku?
Tapi, apa untungnya bagiku? Saat aku sadar jika ada yang tahu tentang hubunganku, Ken dan Anggita, akan ada anak kecil berpipi tembem yang pasti akan jadi bahan gosip baru di kota kecil yang dingin ini.
"Saya hanya butuh list saya, Liyde, kecuali anda ingin saya mendengar ucapan anda semalaman."
"Tch! Asian whore, apa kau merasa menang hanya karena pak GM sudah membeli jasamu!?"
Seruan itu bahkan terdengar sampai bagian luar ruangan sempit yang memantulkan suaranya."Kurasa wanita murahan sepertimu tidak pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi istri dan anak dari lelaki yang membeli jasamu, bukan?" Telunjuknya terahar tepat pada mataku, "asal kau tetap mendapatkan lembaran uang, hanya karena kau membuka kakimu lebar-lebar. Dasar murahan!"
Kurasa tanganku meremas kuat seragamku sendiri, ingin mengatakan, 'aku mungkin tidak tahu bagaimana perasaan seorang istri dan anak yang suaminya membeli wanita untuk sebuah kepuasan.'
Aku tentu tidak tahu bagaimana rasanya menjadi mereka, karena suamiku memilih berselingkuh dengan wanita yang ia cintai.
Sementara aku, istrinya, hanya ia nikahi karena rasa kasihan.
Tanpa bantahan aku mengambil kertas yang dipegang Liyde, ia menatapiku dengan pandangan jijik yang begitu nyata.
"Saya harus bekerja karena ini satu-satunya hal yang bisa membuat saya membayar kebutuhan, semoga sisa hari anda menyenangkan, Liyde."
Aku keluar sebelum wanita yang wajah keriputnya mengeras itu mengatakan apapun yang ia simpan. Mendorong trolyku masuk ke dalam lift khusus karyawan yang sepi.
Kurasa aku harus bersyukur karena bekerja setelah lewat jam sebelas malam. Waktu ketika hanya segelintir karyawan yang masih tersisa.
Sementara tamu-tamu hotel akan silih berganti dari hitungan hari sampai Minggu.