163. ORANG TUA ANGGITA

325 45 0
                                    

Zraaasss!!!

Suara hujan yang belum mereda kalah dengan detak jantung Banyu. Petir yang sesekali berbunyi pun, tak mampu membuat bocah yang pipi gembilnya menekan ceruk leherku mengangkat wajahnya.

Sementara aku terus berdiri di anak tangga dengan jendela besar yang bisa membuatku melihat sudah sebasah apa genangan dipermukaan.

"Banyu," panggilku mengusap lengan kecil yang begitu eart memeluk leherku dan belum mau menunjukan wajahnya yang tersembunyi. 

Aku yang sudah berhenti melangkah jadi bisa benar-benar merasakan jadi sekencang apa debaran jantung kecil Banyu yang seakan mengetuki dadaku yang terasa sesak. 

Ucapannya tentang Anggita yang mungkin akan memberinya rokok, membuatku menggigit kuat bibir bagian dalamku.

Kurasa aku tak perlu bertanya, sesering apa Anggita memberinya sundutan yang bekasnya bisa kulihat.

Pun, tak perlu bertanya kenapa Banyu yang melihat mamanya seperti itu, bisa berpikir Anggita akan memberinya sundutan baru.

Aku tidak akan pernah bertanya sesering apa Anggita melukai putranya ini. Putra yang rasanya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi pada tubuh kecilnya jika Anggita histeris dalam tangis.

'AKU TIDAK AKAN PERNAH BERTANYA!'

"Banyu," panggilku pada bocah yang masih tak mau memperlihatkan wajahnya padaku atau pada hujan yang juga menunggu.

"Apa Banyu mau melihat di mana Tante sering main?"

Kali ini aku bisa merasakan pergerakan di ceruk leherku. Sementara aku yang menatap keluar, seluruh kesadaranku fokus pada bocah kecil yang masih memeluk begitu erat.

Banyu melirikku, "main?" 

kepalaku jadi menunduk, menatapi bocah kecil yang matanya masih menyisakan ketakutan. 

"Iya, tempat main Tante," jawabku mengusap pipi gembil Banyu yang perlahan tapi pasti, menjauhkan diri dari ceruk leherku lalu menatap apa yang kutunjuk.

"Di sana."

Mata bulat Banyu terlihat bingung karena begitu banyak yang bisa kami lihat. Sampai ia menoleh padaku yang memperhatikan wajah bulatnya ini. Wajah bulat yang sudah tahu bisa seburuk apa perilaku seorang ibu.

Aku adalah anak yang di buang saat usiaku masih hitungan hari, aku bahkan tidak mengingat apa ayah dan ibuku pernah menyentuhku baik dengan sentuhan lembut ataukah sentuhan yang kasar. Tapi, bocah yang juga menatapiku ini tahu, bisa sekasar apa ibunya sendiri, wanita yang bisa melahirkan anak yang tumbuh sehat bahkan jadi penggemar nasi.

Aku mengecup pipi tembem Banyu, sementara ia terus memperhatikanku dengan tatapan tanya. 

'Apa anak-anak memang mudah dialihkan dari rasa yang sedang ia rasakan?' 

Aku menarik nafasku dalam, sekali lagi mengusap pipi gembil yang begitu enak di pegang milik Banyu.

"Dulu, Tante sangat suka duduk di ayunan taman itu," ucapku membuat Banyu mendekatkan wajah pada kaca besar. Memperhatikan taman yang basah berkat hujan.

Hujan lebat dan petir yang mengaum bak binatang yang sedang marah, sama sekali tidak mebuat Banyu yang wajah dan tangannya menempel pada kaca menyerah. Bahkan, alis kecilnya seakan menyatu dengan pandangan memicing. Ia terus mencari. Mata bulatnya bergerak berusaha menemukan.

Kurasa, ayunan yang letaknya memang terlindung pohon itu, pasti sulit dilihat. Apalagi hujan sedang begitu deras, meski aku masih bisa melihat besi berayun dengan warna merah, kuning, dan biru berkat angin.

WITHEREDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang