"Papa!" Seru Banyu menyambut Ken yang pulang.
Bocah lelaki yang masih sengaja menyisakan jarak antara dirinya dan Ken itu mendongak menatapi sang ayah yang tangannya terjulur lalu mengusap rambutnya yang hitam.
"Apa hari ini menyenangkan?" Tanya Ken pada Banyu yang mengangguk.
"Banyu main sama teman, main pasir, bikin rumah gede. Terus makan pao, makan puding mangga juga di rumah om Arga. Terus ng ... pulang," ucap Banyu mengadu pada Ken yang mendengarkan dengan sepenuh diri.
"Bagus," balas Ken membuat Banyu tertawa lebar lalu menghampiriku yang sedang menemani Banyu mewarnai.
"Kamu sudah makan?"
Ken tampak terkejut saat aku bertanya. Ia menatapiku beberapa saat sebelum menggeleng.
"Kalian sudah makan?"
Aku menatap Banyu, lalu menggeleng.
Ken yang sedang melepas sepatunya jadi diam, menatapiku yang mengusap crayon dari pipi Banyu.
"Yang, apa kita bisa makan di luar?"
Aku menatap Ken yang berdiri dengan sebelah sepatu di tangan kanannya. Ia menunggu, manik hitamnya seolah berharap aku akan mengiyakan meski rasanya ia tidak akan menolak jika aku menggeleng.
"Makan apa?" Tanyaku membuat manik Ken membesar meski hanya sesaat.
"Bu- bubur jika kamu mau."
Aku bisa merasakan dahiku berkerut.
"Itu jika kamu mau," ulang Ken yang suaranya jadi lebih kecil.
"Apa Banyu mau makan bubur?" Tanyaku pada anak kecil yang tangannya sedang memegangi crayon warna biru.
Langit di gambarnya begitu luas.
"Bubur ayam?" Tanya Banyu, "sama sate telur yang kecil-kecil?" Tambahnya membuatku mengangguk.
"Mau, Tante, Banyu mau makan bubur ayam sama sate telur!"
Begitu semangat Banyu berucap, membuatku menatap Ken yang bibirnya mengukir setipis senyum.
"Apa aku harus mengganti bajuku?" Ken bertanya sementara Banyu yang berdiri di sampingku ikut menatapku.
"Apa Banyu juga harus ganti baju, Tante?" Ucap Banyu mengikuti tanya sang papa.
Aku yang ditatapi keduanya malah tersenyum. Senyum yang terasa begitu ringan.
Celoteh Banyu terdengar memenuhi mobil yang melaju. Bocah yang kupangku ini, bahkan menunjuki bangunan yang lampunya menyala, rambu-rambu lalu lintas yang kami lewati bahkan pengamem yang suaranya lebih sumbang dari suaraku tak luput jadi cerita.
Ken sesekali mematapku sementara mulutnya menanggapi ucapan Banyu, bocah yang terlihat begitu senang sampai pipi gembilnya memerah karena tertawa.
'Bagaimana denganku?' Aku lebih senang mendengar interaksi ayah dan anak yang obrolannya begitu kekanakan.
Mungkin karena yang sedang jadi lawan bicara Ken adalah Banyu, bocah lelaki berusia dua tahun yang masih belajar makna sebuah kata dan bagaimana pengucapannya yang benar.
"Itu, kan, Pa?" Ucap Banyu melihat warung tenda dengan banner 'Bubur ayam pak Sutarno dan Bu Sumirah'.
"Iya," jawab Ken lalu memelankan laju kendaraan dan memarkir mobil di antara kendaraan lain.
"Ayo."
Aku mengangguk pada ajakan Ken, membuka pintu di sampingku dan menurunkan Banyu terlebih dahulu.