97. MENJEBAK DIRIKU SENDIRI

527 73 5
                                    

"Untuk apa, Ken? Untuk menjadikanku ibu Banyu?"

Ken tesentak kaget. Saat manik kami betemu, aku melihat sedalam apa rasa bersalah yang ia pancarkan. Juga penyesalannya, sampai aku memilih mengalihkan pandangan karena tidak ingin melihat wajah suami yang kutinggalkan memiliki ekspresi seperti itu.

Lima tahun lalu, aku memilih pergi agar ia bahagia dengan wanita yang ia cintai.

Keberadaan ku hanya akan membuat ketidak-bahagian bagi orang-orang yang akan senang melihatku menjauh bahkan menghilang.

Orang seperti ibu yang memang tidak pernah menyukaiku, orang seperti Anggita yang terang-terangan menyuruhku pergi demi kebaikan Ken.

Namun, jika aku tahu akan jadi seperti ini ... 'mungkin jika aku bisa memutar waktuku aku akan memutarnya.'

Tapi, waktu adalah hal yang tidak akan bisa diulangi. Sehebat atau sekaya apapun manusia yang berharap bisa kembali ke masa di mana ia merasa bisa mengubah sesuatu, tidak akan pernah mampu!

Begitu juga diriku.

"!" Aku terkejut saat Ken menyentuh pipiku, memaksaku menatapnya.

"Aku ingin istriku, Yang, bukan ibu untuk Banyu."

"Karena Banyu sudah punya ibu?"

"Karena aku-" Ken berhenti berkata meski tangannya masih memegangi pipiku. Ia tampak berpikir untuk mengatakan kalimat yang rasanya sudah ada di ujung lidah.

"Kamu benar, Yang." Sampai ia akhirnya berucap, "Anggita ibu Banyu dan jika kamu tak ingin jadi ibu Banyu, setidaknya aku ingin kamu tahu ada anak bernama Banyu yang memiliki pertalian darah denganku. Anakku."

Aku menggigit bibir bawahku, mendengar Ken mengakui siapa Banyu baginya membuatku lega tapi aku juga tak bisa membohongi diri, bahwa di sudut hatiku ada rasa sakit yang menampakan diri saat Ken menegaskan siapa Banyu.

Banyu adalah putra Ken dan Anggita. Itu adalah kebenaran yang tidak akan bisa disangkal, baik olehku maupun Ken yang sejak awal menemuiku dengan membawa serta Banyu bersamanya.

Membawa serta bocah menggemaskan yang ternyata menyimpan lukanya sendiri.

Bocah yang meragukan kasih dari Ken dan Anggita pada dirinya. Diri anak berusia 2 tahun yang punggungnya penuh dengan bekas sundutan rokok juga tiga buah sundutan baru yang membuatku harus hati-hati menyentuh Banyu.

"Ken, kamu dan Banyu tidak akan bisa hidup tanpa Anggita, bukan?"

Ken hanya diam. Ia menatapku yang mengusap pipi gembil Banyu yang terlelap di pangkuanku.
"Istri seperti apa yang kamu harapkan dariku, Ken?"

Aku menatap Ken, "istri yang tidak peka jika suaminya mencintai orang lain atau istri yang akan diam saja saat tahu suaminya sedang menghabiskan waktu dengan wanita yang suaminya cintai?"

Manik mata Ken membesar.

"Aku adalah kedua wanita itu, Ken. Jadi mana yang kamu pilih?"

Sorot yang Ken tunjukan seolah tak menduga aku akan mengatakan kalimat yang sudah kuucapkan.

"Aku bahkan bisa menjadi ibu Banyu jika itu harus, karena kamu begitu keras kepala untuk tidak menceraikanku. Tapi, apa Anggita mau membagi kamu denganku? Saat melihatku saja ia melampiaskan apa yang ia rasakan pada Banyu, putra kalian."

"Aku akan bisa menutup mataku saat kamu bersama Anggita. Toh, itu adalah hal yang biasa. Tapi, apa Anggita bisa melakukan hal yang sama sepertiku?" Kepalaku menggeleng, "rasanya itu hal yang mustahil untuk dilakukan Anggita, bukan?"

WITHEREDWhere stories live. Discover now