22. Sirkuit

27.9K 4.9K 3.1K
                                    

Gwen menatap Salga yang perlahan tertidur dengan Sagara di sampingnya melalui celah pintu. Dia tahu betapa malunya cowok itu sejak tadi. Terlepas dari semua sifat coolnya, dia merasa cowok itu terlalu... imut.

“Salga sejak kecil selalu nempel sama papanya kalau lagi sakit. Mungkin karena waktu itu saat Salga demam tinggi, cuma ada papanya di samping dia yang ngerawat.” Gwen menoleh, menatap wanita yang ikut mengintip ke dalam kamar dengan senyum terpatri di bibirnya. Wajahnya cantik dan terawat, senyumnya sangat manis sampai-sampai Gwen cukup terpesona. “Kamu pacarnya Salga, kan? Saya Skaya, mamanya Salga.”

Gwen melebarkan mata terkejut, lalu buru-buru membalas uluran tangan Skaya. “Gwen, Tante. Saya kira Tante kakaknya Salga.” Diakhir kalimat, Gwen hanya bisa mencicit.

Skaya sontak menangkup pipinya dengan ekspresi malu. “Oh, ya? Bisa aja kamu.” Menutup pintu dengan pelan agar tidak mengambil atensi dua laki-laki di dalam, Skaya menatap Gwen semringah. “Mumpung Salga lagi tidur, gimana kalau kamu ikut Tante liat-liat album foto Salga?”

Ini adalah tawaran yang menggiurkan. Gwen tanpa sadar mengangguk patuh, membuat wanita di hadapannya segera menariknya menuju salah satu ruangan di lantai satu. Ruangan itu cukup besar dan hangat berwarna coklat putih. Ada sebuah lemari yang berisi berbagai piala dan piagam. Mendali-mendali tergantung rapi di dinding dengan foto-foto keluarga yang harmonis. Lantai ruangan ini full dengan karpet berbulu. Gwen seketika merasa rendah diri. Salga ternyata memiliki keluarga yang sangat baik.

Skaya yang telah mengambil beberapa album foto kini duduk santai di atas karpet berbulu. “Sini, duduk di samping Tante,” ajaknya sambil menepuk lembut sisi kirinya.

Gwen buru-buru mengiyakan, duduk di samping wanita itu sembari mengamati album foto yang sedang dibukanya dengan pandangan tertarik. Halaman pertama adalah beberapa foto bayi dengan wajah memerah dan berkerut.

“Tebak, bayi jelek ini siapa?”

Sudut bibir Gwen berkedut, dengan tak yakin menjawab, “Salga?”

“Bener! Salga paling benci foto-foto bayinya apalagi waktu tau papanya sempet bilang waktu dia lahir, dia adalah bayi terjelek yang pernah papanya liat.” Skaya bercerita dengan tawa lembut, samar-samar merasa bahwa Gwen semakin tertarik melihat foto-foto Salga. Dia lalu menunjuk foto di sebelah kanan. “Tapi seminggu kemudian Salga gak jelek lagi. Muka gantengnya udah muncul.”

“Imut banget.” Gwen mengerjap melihat bayi mungil berwarna putih yang masih memejamkan mata itu.

Skaya merasa bangga dan terus menjelaskan foto demi foto perkembangan putra sulungnya, ingin membantu putranya menambah kesan baik di depan pacarnya. “Salga sejak kecil banyak yang naksir. Tapi dia judes, jutek, dan cuek sejak kecil. Kayak gak tertarik apapun gitu. Lihat foto ini, banyak gadis sebayanya yang pandang Salga.”

Tatapan Gwen tertuju pada Salga berseragam putih-biru yang berdiri tegak pada barisan upacara dengan banyaknya gadis-gadis yang menatapnya terang-terangan. Tidak ada riak di mata hitamnya. Dia diam sejemang sebelum mengangguk lembut.

“Ternyata banyak yang suka Salga, ya...” gumamnya samar-samar.

***

“Lo baru sembuh udah berani main ke sini?” tanya Gwen marah. Tiga hari sakit sepertinya tidak cukup membuat cowok itu diam mengistirahatkan diri. Kini Salga membawanya ke sirkuit menggunakan mobil mewahnya, disambut antusiasme teman-temannya.

Salga memasukkan tangannya ke saku celana sembari mengedarkan pandangan. Malam ini sangat ramai, bukan hanya ada mereka saja melainkan geng balap lain yang juga memenuhi tiap sudut. “Ada pertandingan.”

UNRIVALED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang