32. Sweet Things

20.9K 3.7K 3K
                                    

Sehari semalam melakukan camping adalah hal baru bagi sebagian dari mereka. Nyatanya, pengalaman itu tidak begitu buruk kecuali sakit pungung karena tidak berbaring di kasur yang empuk dan kamar mandi yang cukup jauh sehingga ketika malam tiba, mereka cukup takut untuk pergi sendirian.

Pagi hari di wilayah ini sangat indah. Di antara pohon pinus yang menjulang tinggi, kabut putih menyelinap di sekeliling mereka semua. Meskipun suhu membuat gigi mereka bergemeletuk karena dingin dengan bulu kuduk yang berdiri, ternyata matahari terbit yang bisa mereka nikmati dari camping ground tersebut sangat indah. Bukit-bukit yang memeluk lembah pun disinari oleh cahaya mentari berwarna keemasan, menambah kesan indah membuat mereka yang menontonnya berdecak kagum.

Tidak seperti mereka yang menikmati keindahan memanjakan mata yang jarang dinikmati, Wisnu justru menghabiskan pagi harinya untuk mandi. Dia keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah, tetapi langkahnya mau tak mau berhenti saat melihat sosok jangkung bersandar pada pohon pinus tepat di depan kamar mandi.

Sudut bibir cowok itu melengkung, berjalan mendekatinya dengan santai dan hendak menepuk pundaknya, tetapi kalah cepat dari sosok itu yang langsung mencengkram erat pergelangan tangannya.

“Lo kenal Gwen?”

Wisnu menelengkan kepala, bertanya dengan raut polos, “Gwen siapa? Ah, cewek itu?”

“Jawab.”

“Galak banget. Cewek lo gak ngadu ke elo tentang gue? Gue kira dia bakal lakuin itu.” Wisnu mengekeh, ingin menarik tangannya dari cengkraman Salga namun menyadari bahwa sahabatnya itu enggan melepaskannya dengan mudah. Jadi di bawah tatapan dingin Salga, Wisnu menyeringai. “Pengin tau hubungan gue sama pacar lo?”

“Lo gak ada hubungan sama dia.”

“Lo gak tahu apa-apa soal ini.” Wisnu memajukan wajahnya, membalas sengit tatapan Salga dengan bibir yang masih melengkung menggoda. “Tapi kalau lo mau, datang ke gue kapan aja. Gue bisa ceritakan apapun yang lo mau sampai puas.”

Salga menatapnya tanpa fluktuasi, lalu menghempaskan tangan Wisnu. “Lo berbeda dari lima tahun lalu.”

What a bullshit. You're the one who changed the most, Salga. Jauh lebih lembut hati.”

Melirik Wisnu, ada riak tak bisa diartikan melintasi mata Salga, sebelum dia menegakkan punggung dan beranjak pergi meninggalkannya sendiri di bawah pohon pinus.

Namun Wisnu bergeming di tempat, merasakan perasaan nyeri tak terdefinisikan di pergelangan tangannya. Saat menunduk, dia baru menyadari betapa merah pergelangan tangannya yang telah dicengkram Salga selama beberapa menit. Ada keterkejutan dalam ekspresinya. Tapi itu hanya sepersekian detik sebelum digantikan tawa renyah ketika ingatan kemarin melintasi benaknya.

“Ternyata lo selalu sama, Salga. Rasa sakit dibalas rasa sakit.” Dia mengelus pergelangan tangannya yang lama kelamaan berubah menjadi biru keunguan sehingga bisa dipikirkan betapa kuat cengkraman Salga tadi pada pergelangan tangannya. “Gue semakin menantikan hari-hari kedepannya.”

***

Setelah melakukan camping, dibawah tekanan praktikum kuliah yang membuat Gwen setres selama seminggu, dia akhirnya memiliki waktu untuk berkencan dengan Salga sore ini. Namun, dalam perjalanan, tiba-tiba dia menerima sebuah undangan lisan dari Salga.

“Pesta pernikahan bokap nyokap lo yang ke-22?” tanya Gwen kaget, menatap sosok Salga yang duduk di seberangnya dengan mata melebar. Jujur saja ini pertama kalinya dia menerima undangan mengikuti perayaan pernikahaan hingga mencapai puluhan tahun. Matanya senantiasa terpaku pada Salga yang duduk tenang sambil mengendarai mobil.

UNRIVALED ✓Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin