Merantau Ke Jakarta

79 3 0
                                    

Bu Fatma dan Laras sudah sampai di rumah Bu Rani.
Tapi di saat tangan Bu Fatma ingin mengetuk pintu, Anaya lebih dulu membuka pintu rumah karena akan pergi berjualan kue.

Anaya tersentak ketika melihat Bibi dan sepupunya tengah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Eh, Bibi, Laras? Kamu sudah pulang Ras? Kapan?”

Tanpa menjawab pertanyaan dari Anaya, ia langsung memeluk tubuh Anaya, jujur ia sangat merindukan Kakak sepupunya yang satu ini, sekaligus ia juga ingin menyampaikan afeksi yang ada di hatinya pada Anaya melalui sebuah pelukan.

Anaya pun membalas pelukan Adik sepupunya dengan satu tangan, karena tangan yang satu lagi tengah menenteng kotak kontainer. Ia memejamkan mata menahan genangan air yang mendesak ingin segera keluar. Ia tak mau menangis lagi, Anaya harus kuat demi Ibu dan Adiknya. Ia tak mau larut dalam kesedihan, bahkan di saat masih suasana duka pun ia harus mencari uang dengan berjualan kue untuk menyambung hidup. Jadi, Anaya tidak punya waktu untuk meratapi kepergian Ayah tercinta, meskipun sebenarnya ia ingin.

“Laras kangen banget sama Teh Anaya, maaf ya, Laras baru bisa pulang,”
Laras meregangkan pelukannya, memegang kedua bahu yang lebih tua, lebih tua dalam arti posisi dari silsilah keluarga, karena Anaya adalah anak dari Pak Firhan Kakak dari Ibunya Laras, jadi Laras memanggil Anaya dengan sebutan Teteh yang artinya Kakak. Walaupun umur Laras lebih tua dua tahun dari Anaya, karena waktu dulu Bu Fatma mendahului Pak Firhan melangkah ke jenjang pernikahan. Tapi Laras tetap memanggil Anaya dengan sebutan Teteh, sebagai bentuk etika yang baik.

“Laras turut berduka cita ya atas meninggalnya Uak Firhan,”
Anaya hanya mengangguk sambil mengusap sudut matanya yang basah, lalu ia mengulas senyuman simpul.

“Makasih ya, Ras. Kamu sama Bibi masuk aja! Di dalam ada Ibu, aku mau jualan kue dulu.”

Laras mengerutkan dahinya, lalu mengusap lembut bahu Anaya.
“Lho, kok Teh Anaya udah jualan aja? Tidak mau istirahat dulu? Kan masih dalam suasana duka?”

Anaya hanya tersenyum miris, jujur sebenarnya ia juga mau bersantai dulu di rumah untuk beberapa hari, menemani dan merawat sang Ibu yang tengah sakit, sakit fisik pun batinnya.

“Kalau Teteh tidak jualan hari ini, besok kita mau makan apa? Ibu juga sudah tidak punya uang. Untuk tahlilan pun kita sudah tidak punya biaya, ada juga uang untuk bayar sekolahnya Adrian.”

Hati Laras dan Bu Fatma terenyuh, ikut merasakan kesedihan yang di rasakan oleh Anaya dan keluarga. Sampai jari Bu Fatma terulur mengusap kepala Anaya yang terbalut hijab, matanya berkaca-kaca dengan bibir yang sedikit melengkung ke bawah.

“Kamu yang sabar ya, Nak. Bibi yakin suatu saat kamu dan Adrian akan menjadi orang yang sukses, juga bisa membanggakan Ibu kamu dan Bapak kamu di sana.”

Tak terasa cairan hangat itu pun lolos begitu saja, Anaya tak sanggup lagi menahan cairan itu yang sejak tadi sudah mengumpul di pelupuk mata.
“Iya Bik, amin. Makasih ya.”

Mereka bertiga pun saling merengkuh dalam pelukan, di temani isak tangis dari mulut Anaya.

***


“Kue....kue...kue....!!!” seru Anaya sambil terus berjalan mengelilingi kampung. Berharap hari ini dagangannya habis, meski sesekali hatinya berdenyut ngilu karena terbayang senyuman yang selalu terpatri di wajah teduh sang Ayah.

Lututnya pun mulai lemas karena sudah cukup lama ia berkeliling kampung, dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10.15, terik matahari yang sudah mulai terasa, membuat Anaya sedikit haus karena kepanasan.

Anaya beristirahat sejenak sambil duduk di rerumputan di pinggir jalan dengan beralaskan sandal miliknya. Ia pun memijit pergelangan kakinya.

“Ya Allah, pegel banget kaki aku. Mana kuenya masih banyak lagi.”

Takdir Cinta (TAMAT)Where stories live. Discover now