Tak Ingin Kehilangan

33 1 0
                                    

Pukul 17.10.

Adrian tengah duduk seraya menatap wajah sang Ibu yang sedang tertidur pulas, tangannya mengelus lembut pucuk kepala Bu Rani yang terbalut hijab. Gerakannya begitu pelan, karena takut mengganggu Ibunya yang baru saja beristirahat setelah makan dan minum obat. Wajah damai itu terlihat sangat pucat.

"Bu, Ibu yang kuat ya! Ibu harus sembuh! Adrian tidak mau kehilangan Ibu. Ya Allah, tolong angkat penyakit Ibu hamba. --Pak, Adrian rindu Bapak, Adrian butuh Bapak," batin Adrian seraya menghapus air matanya.

Adrian pernah mengalami sakit hati sampai meninggalkan luka yang mendalam, saat ia mengetahui bahwa kehadirannya di dunia ini tak di harapkan oleh orang tua kandungnya sendiri.
Namun kehilangan orang tua angkatnya lebih menyakitkan dari pada itu. Karena almarhum Pak Firhan begitu berarti di hidupnya.
Seketika bayang-bayang kebersamaan ia dan almarhum Pak Firhan berputar kembali di ingatannya, dan rasa rindu pun kembali singgah di hati.

Namun Adrian cukup sadar, sebesar apa pun takdir menyuguhkan luka di hatinya, karena kehilangan orang yang ia sayang, bukan berarti kisah hidupnya berakhir, yang berakhir hanya lah bagian orang terkasih dalam kisah hidupnya.

Karena sejak kecil Adrian selalu diajarkan oleh orang tua dan guru agamanya, bahwa sebagai umat muslim ia harus mengimani qadha dan qadar, yang biasa di sebut dengan takdir.
Jadi kita sebagai manusia hanya mampu berencana, namun Tuhan lah yang menentukan.

Tak berselang lama terdengarlah suara panggilan telepon yang berasal dari ponsel Adrian.

Drrtttt drrrrttt.

"Halo Teh?" suara parau Adrian membuat Anaya tersentak.

"Halo Dek, kamu kenapa? Kok, suara kamu kayak habis nangis?"

Adrian pun tak kuasa menahan isak tangisnya.

"Hiks hiks, Ibu Teh, Ibu masuk rumah sakit."

"Ya Allah, terus bagaimana keadaannya sekarang? Ibu sakit apa Dri?"
suara Anaya terdengar begitu cemas, terjawab sudah firasat buruk Anaya sejak tadi pagi.

"Ibu harus segera melakukan operasi usus buntu Teh, tapi kita tidak punya uang untuk biaya operasi Ibu. Biayanya juga sangat mahal."

"ya Allah, kok bisa si Dek, Ibu punya penyakit usus buntu, Teteh kira Ibu cuma sakit mag biasa."

"Adrian juga tidak tahu Teh, pas waktu Adrian pulang sekolah, Ibu udah jatuh di lantai sambil pegang perutnya, katanya perut Ibu sakit banget."

"Ya udah, kamu tenang dulu ya! Nanti besok Teteh akan pulang ke Bogor, nanti Teteh akan cari pinjaman uang."

"Iya Teh, Teteh hati-hati ya pulangnya!"

"Iya Dek, ya udah kalau gitu Teteh mau pulang ke kontrakan dulu ya, ini masih di tempat kerja soalnya. Teteh tutup ya teleponnya, assalamualaikum?"

"Iya Teh, hati-hati ya. Waalaikumussalam."

Pip.

Anaya mengambil napas panjang seraya genangan air yang sedari tadi ia tahan akhirnya terjatuh menyusuri pipi hingga ke dagu. Dadanya begitu sesak menahan isak tangis sepanjang ia berbincang dengan Adrian melalui telepon, ia hanya berusaha tegar di depan Adiknya, meskipun Adrian tak melihatnya. Ia hanya tak mau Adiknya itu semakin sedih.

"Hiks hiks hiks, ya Allah, hamba harus bagaimana? Hamba harus cari uang ke mana? Hiks hiks hiks."

Anaya berjalan lunglai menuju halte bus karena tubuhnya terasa begitu lemas, pikirannya yang berkecamuk membuatnya sedikit tak fokus saat berjalan, untung saja dari tempat ia bekerja ke halte bus tidak jauh, hanya membutuhkan waktu 10 menit.

Takdir Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang