F/N mengerang kesal. Entah sudah yang keberapa kalinya topik ini menjadi akar pertengkaran mereka. Tentang penggemar Kise yang terlalu ringan tangan seolah tak sadar dengan fakta bahwa pria itu telah bertunangan. Tentang Kise yang bersikukuh bahwa sentuhan itu hanya sebatas idola dengan penggemarnya. Tidak lebih.
"Tidak perlu dibesar-besarkan, F/Ncchi," tukas Kise tajam. Pria itu meneguk airnya hingga tandas. "Sudah kubilang, mereka hanya penggemar. Hanya mengagumiku saja. Ramah tamah dengan penggemarku adalah bagian dari pekerjaan."
"Oh ya?" alis F/N terangkat tinggi, tak suka dengan nada bicara Kise. "Apakah membiarkan penggemarmu merangkul lengan dengan mesra juga bagian dari pekerjaan? Atau jangan-jangan kau senang ketika penggemarmu itu mencium pipi, hm? Masihkah itu menjadi bagian dari pekerjaan?"
Kise menggerakkan tangannya frustrasi, meletakkan gelasnya dengan kasar. "Aku juga tak menyangka ia akan senekat itu. Kupikir hanya berjabat tangan biasa. Perhatianku teralihkan oleh hal lain."
"Itu karena kau sangat toleran dengan tingkah mereka, Ryouta!" sembur F/N meledak-ledak. "Mereka menganggapnya sebagai kesempatan. Mereka bahkan lupa kalau aku adalah tunanganmu."
Kise mendengus tak percaya, meninggalkan dapur dengan langkah panjang. "Apa kau cemburu dengan penggemarku, F/Ncchi?"
"Ini bukan tentang cemburu, Ryouta," sergah F/N, mengikuti Kise menuju ruang tengah. "Ini tentang batasan. Apa kau akan membiarkan mereka tetap merangkul, memeluk atau bahkan menciummu ketika kita sudah menikah nanti? Apa hak spesial itu tidak cukup untukku saja, begitu?"
"Hak spesial apalagi yang kauminta, F/Ncchi?" suara Kise mulai meninggi, berbalik menatap F/N dengan pandangan yang menyorong tajam. "Apartemen yang kubeli untuk kita belum cukup? Cincin di jari manismu itu belum membuktikan hak spesialmu? Kau tunanganku, F/Ncchi. Mulailah bersikap demikian."
Napasnya tersengal. Dadanya sesak. Ia menunduk di bawah tatapan Kise yang mengintimidasi. Netra keemasan yang berkilat oleh amarah juga nada tinggi Kise membawanya kembali pada masa kecilnya yang amat ingin ia lupakan.
"Kalau aku memang tunanganmu, kenapa mereka bisa melakukan hal yang seharusnya hanya aku yang melakukannya?" cicit F/N melemah. Ia mundur beberapa langkah, mengambil jarak dari tunangannya. "Kalau kau memang tunanganku, Kise Ryouta, mulailah bersikap demikian."
Kise menghela napas kasar, muak dengan pembicaraan berulang yang selalu menemui buntu. Ia memejamkan mata sejenak untuk mengatur emosi, tapi tak berhasil. Alih-alih mereda, kekesalannya kian memuncak.
"Kau seharusnya tahu apa yang akan kauhadapi ketika berhubungan dengan seorang model," pungkas Kise habis kesabaran.
F/N tersentak syok. Ia tahu bagaimana pembicaraan ini berakhir dan ia tidak ingin Kise mengatakannya. Ia tidak kehilangan pria berhelai pirang itu. Lantas, F/N memutuskan untuk menyisihkan waktu mengatur isi pikiran.
"Aku butuh waktu," lirih F/N meninggalkan Kise, berharap pria itu mengabulkan permintaan sederhananya.
"Oh, sekarang kau butuh waktu?" cecar Kise. Ia bersikeras untuk mengekori F/N, ingin segera membereskan masalah ini akan tidak diungkit di kemudian hari. "Bukankah kau yang memulai percakapan ini, hm? Jangan pergi sebelum kau menyelesaikannya, F/Ncchi."
Untuk sesaat F/N merasa dirinya kembali pada F/N sewaktu remaja. Dirinya yang terjebak di rumah yang riuh oleh teriakan bersahutan dengan jeritan. Ia yang tak memiliki jalan keluar selain menghadapi bisingnya rumah dengan tangan menutup telinga.
Tulang rusuknya seakan menghimpit dada. Sesak. Tak peduli seberapa besar usahanya untuk meraup oksigen, napasnya tetap pendek-pendek. Telinganya berdenging. Kepalanya memunculkan memori yang ingin ia lenyapkan. Ia mendorong dada Kise ketika pria itu mendekat, tak sadar bahwa dirinya jatuh terduduk dengan punggung bersandar pada dinding lorong.
"F/Ncchi?"
"Ti... tinggalkan aku sendiri, Ryouta," rintihnya terbata. "Kumohon ... beri aku waktu."
"F/Ncchi, hei F/Ncchi." Kise berjongkok di hadapan F/N, merutuk dirinya sendiri yang terlalu buta oleh emosi hingga luput mengingat kondisi gadisnya. "F/Ncchi, apa aku boleh memelukmu?"
F/N mendongak, melemparkan tatapan sangsi.
"Aku tidak akan berteriak lagi. Sungguh. Aku hanya ingin memelukmu, boleh?"
Tak memiliki pilihan dalam kondisinya saat ini, F/N mengangguk samar.
"Kau mengalami serangan panik, F/Ncchi," bisik Kise seraya menyelimuti tubuh F/N dengan kedua lengannya. "Bernapaslah. Ikuti aku. Benar begitu. Gadis pintar. F/Ncchiku Sayang."
F/N mencengkeram kemeja Kise, mencoba mencari jangkar untuk kembali pada masa sekarang. Matanya terpejam, membiarkan seluruh indranya menumpul dan dikuasai oleh tunangannya. Usapan lembut pada punggung, aroma maskulin dari parfum dan bau tubuh Kise, tekanan ringan dari bibir sang pria pada puncak kepala, hangat tubuh tunangannya.
"Maaf aku mengatakan hal-hal jahat padamu." Kise membingkai wajah gadisnya dengan sebelah tangan, mengelus rahang F/N. "Aku tidak bermaksud demikian, F/Ncchi. Maafkan aku."
Napasnya berangsur stabil. Kabut masa lalu yang menutupi pikirannya perlahan lenyap. Suara Kise yang dengan lembut membisikkan ungkapan kasih sayang juga kalimat menenangkan, menentramkan batinnya yang sempat berkecamuk lantaran memikirkan kemungkinan terburuk dari hubungan mereka.
"Aku di sini, F/Ncchi," gumam Kise rendah. "Aku di sini. Kau baik-baik saja. Aku tidak akan ke mana-mana."
Entah berapa lama mereka berada di posisi yang sama. Kise bisa merasakan lututnya mulai mati rasa. Rahangnya mengeras, tubuhnya menggigil lantaran lantai yang dingin juga penghangat ruangan yang tak menjangkau lorong menuju pintu utama. Namun, ia tak menggubris ketidak nyamanannya, keadaan F/N yang paling utama.
"Aku mengerti posisimu sebagai model dan idola, Ryouta."
"Shh ... kita bisa bicarakan ini lain kali."
F/N menggeleng. "Aku mengerti posisimu, tapi aku juga ingin kau melihat situasinya dari sudut pandangku. Bukan sikapmu yang ramah dengan para penggemar yang kupermasalahkan, tapi kau yang tidak memiliki batasan. Mungkin banyak model atau idola di luar sana yang memperbolehkan penggemar mereka untuk merangkul mesra atau mencium pipi, tapi jangan dirimu."
Kise termenung. Membayangkan jika ada pria lain yang merangkul bahu F/N sebagai sikap akrab sesama rekan kerja, keningnya berkerut tak suka.
"Bagimu tampaknya aku cemburu atau masalah ini adalah hal yang sepele." F/N menggenggam tangan Kise yang menangkup wajahnya. "Tapi aku tidak ingin disepelekan, Ryouta."
Kise mengembuskan napas panjang. Memikirkan kembali tingkahnya dengan para penggemar yang belakangan ini terlalu bersahabat, lalu membayangkan hal yang sama terjadi pada F/N. Ia tak suka. Jangan melakukan sesuatu pada orang lain yang tidak ingin terjadi padamu, Kise ingat pernah membaca kutipan itu di suatu tempat.
"Baiklah." Kise mengadukan keningnya dengan kening F/N, menggesekkan puncak hidung mereka. Kepuasan menyebar ke seluruh tubuhnya kala F/N mengulas senyum tipis. Senyum pertama gadis itu hari ini. "Akan kukurangi kontak fisik dengan penggemarku. Aku juga akan lebih awas dengan sikap mereka dan memberi peringatan jika sudah berlebihan."
"Terima kasih telah mencoba memahami, Ryouta."
Kise membawa F/N dalam dekapan erat, menumpukan dagunya pada bahu gadis itu lalu menghirup dalam aroma sabun yang digunakan tunangannya. Dalam hati bersumpah untuk lebih berhati-hati, ia ingin menjaga perasaan F/N. Gadis yang telah menggenggam jiwa dan hatinya.
"F/Ncchi?"
"Iya?"
"Sebagai pengingat, aku milikmu, oke?" gumamKise tertahan di bahu F/N. "Kau tunanganku, tapi aku juga tunanganmu. Akumilikmu. Sejak awal selalu dirimu."

YOU ARE READING
Kuroko no Basuke Drabbles
FanfictionCerita singkat tentang para pemain basket ini dengan pasangannya di berbagai situasi Note: hanya Generation of Miracles dan Kagami