Tidak ada laki-laki yang lebih bahagia daripada Takao sekarang.
Ia sudah memiliki gadis yang sangat ia cintai sepenuhnya dan sekarang wanita yang menjadi miliknya tengah mengandung anak mereka. Menurutnya, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada ini. Kalau bisa, ia akan meneriakkan perasaannya dari atas Tokyo Tower, tetapi ia takut sikapnya akan membuat F/N jantungan.
"Aku harus menelpon Shin-chan dan merayakan kemenanganku," ucap Takao pada F/N sambil mencium pipi istrinya.
"Apa maksudmu dengan merayakan kemenangan?" tanya F/N tidak mengerti. Ia menyandarkan punggungnya di sofa, ikut menyunggingkan senyum lantaran suaminya masih memperlihatkan wajah bahagia.
"Kami bertaruh siapa yang akan memiliki anak lebih dulu. Pemenangnya akan mendapatkan seperangkat peralatan bayi dari yang kalah," Takao nyengir. "Ternyata aku yang menang. Aku tahu sifat tsundere Shin-chan akan menghalangi jalannya menuju kemenangan."
F/N menggelengkan kepala. Ia tahu persahabatan Takao dan Midorima sudah berlangsung sejak mereka masih SMA, tetapi ia masih heran sifat kekanakkan masih juga belum hilang dari keduanya.
"Lakukan semaumu, Kazu," ucap F/N dengan nada mengalah. "Tapi jangan terlalu berlebihan menjahilinya atau aku yang akan terkena imbasnya."
Takao kembali memamerkan cengirannya lalu meraih ponselnya.
Memang benar, setiap kali Takao menjahili Midorima, istri dari sahabat suaminya itu akan menelponnya dan berceloteh panjang lebar tentang bagaimana lucunya Midorima saat Takao menggodanya. Memang tidak ada protes dari istri Midorima, tetapi F/N bisa merasakan telinganya panas saat sambungan telepon terputus.
F/N mengusap perutnya, membayangkan bagaimana masa depannya bersama dengan Takao juga calon anak mereka kelak. Gambaran tentang putri kecil mereka berlari di pekarangan rumah terlintas di benak F/N. Dalam imajinasinya, ia menyaksikan Takao dan putri mereka tertawa sambil bermain di antara daun yang berguguran. Betapa F/N tidak sabar untuk menjalani masa itu.
"Kau baik-baik saja, F/N?" suara Takao membuyarkan gambaran F/N.
Wanita itu menoleh ke arah suaminya dengan senyuman. "Aku baik-baik saja. Hanya memikirkan bagaimana sosok putri kita."
"Putri? Bagaimana kau tahu kalau anak kita adalah perempuan?" Takao menyelimuti F/N dengan lengannya. Membawa sang Istri dalam pelukannya.
"Hanya firasat saja," balas F/N. "Memangnya kau tidak mau anak perempuan?"
"Bukan begitu," Takao menggeleng. "Aku tidak keberatan memiliki anak perempuan yang secantik Ibunya. Tapi kalau memiliki anak perempuan, aku harus meminta Shin-chan menyiapkan alat operasinya."
"Untuk apa?" F/N memandang Takao bingung.
"Karena kalau ada laki-laki yang berani menyakiti gadisku, aku akan membuat mereka merasakan operasi tanpa obat bius."
***
Bercanda. Semua ini hanya lelucon bodoh yang dilontarkan oleh sahabatnya. Tidak mungkin semua ini terjadi setelah mereka menunggu lama. Tidak mungkin.
Takao memaksa kakinya berlari lebih cepat. Ia tidak bisa menaiki kereta atau taksi karena salju menutupi jalan dan memblokir semua akses ke rumah sakit. Satu-satunya cara untuk sampai ke rumah sakit adalah dengan berlari dengan kecepatan tinggi. Hanya dengan berbekal pengalamannya semasa sekolah dulu, Takao berlari menembus dinginnya salju.
Uap terus saja bermunculan di depan wajah Takao. Namun, rasa sakit yang mulai menguasai abdomen tidak membuatnya berhenti berlari. Tidak. Tidak setelah ia mendengar kabar kalau F/N melahirkan. Otaknya hanya memiliki satu tujuan. Berada di samping F/N secepatnya.
Bahkan sampai menginjakkan kaki di gedung besar berwarna putih tempat sahabatnya bekerja, Takao masih belum menghentikan laju larinya. Meja resepsionis terlewati. Matanya sibuk mencari nomor kamar yang dikirim oleh Midorima via sms. Kakinya baru berhenti saat menemukan Midorima dan istrinya sedang terduduk di ruang tunggu.
"F-F/N. B-bagaimana dengannya?" Takao mengatur nafasnya yang masih terengah.
"Lebih baik kau melihat sendiri keadaannya, nanodayo," ucap Midorima menuntun Takao masuk ke ruangan F/N.
Ada yang aneh dari cara bicara Midorima, Takao tahu akan hal itu. Namun, ia mengabaikan fakta aneh lantaran pikirannya masih dipenuhi dengan F/N dan bayi mereka. Saat Takao masuk, ia melihat F/N terbaring di ranjang rumah sakit. Istrinya terlihat lelah. Sepertinya Takao melewatkan proses persalinannya.
"Apa kau suami dari Nyonya Takao?" tanya salah satu perawat.
Takao menggangguk.
"Maaf harus mengatakan kabar ini di tengah kelahiran bayi anda, tapi waktu yang bisa dihabiskan dengan istri anda tidak lama lagi," ucap perawat itu.
Takao terbelalak mendengar ucapan si perawat. Apa maksudnya dengan waktu yang bisa ia habiskan dengan F/N tidak lama lagi? Mungkin yang perawat itu maksud adalah F/N harus dipindahkan ke ruang rawat. Itu kan yang dimaksud oleh perawat? Atau ... tidak. Takao tidak ingin memikirkan kemungkinan yang lain.
Seperti mengerti Takao masih bingung dengan ucapannya, perawat itu kembali berkata. "Istri anda mengalami pendarahan hebat. Kami sudah melakukan sebisa kami. Namun, sepertinya kematian sudah menunggu kedatangannya."
Takao bergeming. Ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang harus diterimanya. Inikah mengapa suara Midorima terdengar begitu sendu saat melihatnya? Karena saat ia dikirimkan malaikat kecil untuk mewarnai hidupnya, malaikatnya yang lain harus pergi? Inikah alasannya?
"K-Kazu. Kaukah itu?" suara lirih F/N seakan memaksanya kembali pada kenyataan. Takao beringsut mendekat ke ranjang F/N, menggenggam tangan yang selalu menggandengnya belasan tahun, tangan yang sebentar lagi tidak akan bisa ia gapai.
"Aku di sini, F/N. Maaf karena melewatkan proses persalinannya," Takao mencium punggung tangan istrinya, matanya tidak beralih dari wajah F/N.
"Tidak masalah," F/N mencoba tersenyum. Suaranya begitu lemah sampai Takao ingin memaksanya untuk diam. Namun ia tahu, ia akan merindukan suara ini esok. "Kau sudah melihat bayi kita? Seperti dugaanku, bayi kita perempuan."
"Iya. Aku akan melihatnya nanti," Takao menaruh tangan F/N di pipinya. Air mata sudah mengaburkan pandangannya.
"Jaga putri kita, Kazu. Aku yakin kau mampu menjaganya tanpa aku," bisik F/N. Takao bersumpah ia melihat F/N menangis. Suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
"Aku tidak bisa melakukannya seorang diri F/N. Kumohon ... bertahanlah ... bertahan untukku dan putri kita," Takao sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menyembunyikan wajahnya di lekukan leher F/N. Menghirup dalam-dalam aroma sampo F/N seakan mencoba untuk mengukir aroma F/N dalam pikirannya.
"Kau harus bisa. Aku yakin kaubisa," ucap F/N. Ia mengelus rambut Takao, mencoba untuk menenangkan suaminya. "Aku tidak akan bisa menyaksikannya tumbuh besar. Aku juga tidak bisa memenuhi janjiku untuk menua bersamamu. Karena itu aku memohon maafmu."
Salah seorang perawat memberikan bayi yang terbungkus selimut merah muda pada Takao. F/N mengelus pipi putrinya dengan jari telunjuk saat Takao menggendongnya. Seakan mengerti apa yang terjadi, putri mereka menangis.
"Putri kita tidak ingin kau pergi. Aku juga tidak ingin dirimu meninggalkanku, F/N. Berjuanglah untuk kami," bisik Takao. Ia menepuk punggung putrinya lembut, berusaha meredakan tangis malaikat kecilnya. "Kumohon F/N."
"Itu juga hal yang sangat kuinginkan."
"Mama mencintaimu, sayang," F/N mencium kepala putrinya lama. Takao menahan diri untuk tidak berteriak frustasi, terlebih saat F/N menatapnya dengan sendu tapi penuh kasih sayang dalam sorot matanya. "Aku mencintaimu Kazu. Selamanya akan begitu."
Tangisan putri mereka semakin kencang saat F/N memejamkan mata. Takao menahan nafas menyadari kelopak mata itu tidak akan pernah memperlihatkan mata yang sangat ia sukai lagi. kelopak mata itu akan tetap terpejam selamanya.
Takao mencium dahi F/N lembut. "Aku mencintaimu F/N. Sangat, sangat mencintaimu sampai terasa menyakitkan."

YOU ARE READING
Kuroko no Basuke Drabbles
FanfictionCerita singkat tentang para pemain basket ini dengan pasangannya di berbagai situasi Note: hanya Generation of Miracles dan Kagami