05

200 39 14
                                    

"Chio jangan nakal ya, nurut saya Mbak Luna." Sachio mengangguk dan memeluk tubuh Mami yang lebih pendek darinya, disampingnya Luna juga sedang memeluk Papi. Tak lama, acara pelukan itu harus diakhiri karena sudah waktunya Papi dan Mami check in.

"Hati-hati ya, jangan lupa oleh-oleh adek." Tutup Sachio yang dibalas anggukan oleh Papi dan Mami.

Saluna sendiri tersenyum gemas karena Sachio mengerucutkan bibirnya, remaja itu memang sangat mencintai keluarganya, terlebih kalau orang di rumah lengkap ia akan berubah menjadi anak rumahan, sayangnya mereka tidak bisa terus-terusan bersama, kadang papi dan mami yang pergi tetapi seringnya malah Saluna.

"Jangan sedih dong, kan ada Mbak." Hibur Luna sembari menggandeng Sachio yang kini tingginya jauh melampauinya, Sachio hanya mengangguk dan malah melepas tangan Luna yang melingkari tangannya, sebelum Luna protes Sachio sudah terlebih dulu merangkul perempuan itu.

"Iya, nggak sedih." Jawabnya sambil tersenyum tengil juga dengan jari-jarinya mencolek bahu Luna iseng, Luna sendiri menatap anak itu dengan pandangan bertanya dan waspada.

"Ini tangannya, Chioo geli." Luna berusaha melepaskan rangkulan si bocah bongsor.

"Mbak jadi keliatan bantet banget deh di mata aku, huahahahaha." Sachio tertawa kencang sambil terus berjalan dengan Luna dalam rangkulannya.

"Bantet??! Enak aja, kamunya aja yang ketinggian!" Kesal Luna sambil menahan tawanya, ia memang agak kesal disebut bantet tetapi tawa Sachio meluruhkan kesalnya.

Keduanya terus bercanda membuat beberapa orang melirik mereka dan tak banyak yang berfikir bahwa mereka adalah pasangan kekasih, padahal kenyataan Saluna dan Sachio adalah adik-kakak.

.

Luna yang fokus dengan kemudinya sesekali melirik Sachio yang fokus dengan buku bacaannya, anak itu memang selalu masuk peringkat di kelasnya tetapi tidak melulu di rangking satu. Sikapnya yang tengil dan slengean kadang membuat banyak temannya tidak percaya kalau setiap tugas, ujian, atau apapun yang ia kerjakan selalu dapat nilai bagus. Pada nyatanya lelaki itu memang suka membaca dan teknik belajarnya audio, saat guru menjelaskan di kelas Sachio hanya perlu fokus dan semua materi bisa terserap ke otaknya.

Pokoknya tidak ada yang instan dan Sachio bukan tokoh super seperti si pemberontak yang selalu dapat peringkat satu. Sachio hanya anak remaja biasa yang mendapatkan apa yang ia punya dengan usahanya.

"Chio, mau makan diluar, take away, apa Mbak yang masak?" Pertanyaan Luna itu membuat Sachio menutup bukunya setelah ia meletakan pembatas.

"Kalau Mbak yang masak gakpapa?" Tanya Sachio hati-hati dengan perhatian yang fokus pada Saluna yang kini tersenyum.

"Ya gakpapa, Mbak kan yang nawarin."

"Mauuu, mau dimsum sama nasi goreng buatan Mbak." Ucap Sachio super semangat dan sedikit manja.

"Okay, kita beli bahannya dulu ya."

Dan disinilah kedua orang pemilik nama belakang Mahajaya itu berdiri di etalase berbagai daging-dagingan, "Mas, ini ayam gilingya mau 500 gram." Luna terlihat sibuk dengan urusan daging itu tak menyadari Sachio yang bosan. Akhirnya lelaki itu menarik kecil kaos yang dipakai Luna, "Mbak aku mau jajan ya." Luna pun mengangguk dan kembali pada kesibukannya yang kini memelih paha ayam dan udang.

Akhirnya, Sachio mengehala nafas lega dan berjalan dengan semangat menuju rak makanan manis alias untuk mengambil marshmallow, saat lelaki itu ingin mengambil bungkusan paling depan ada orang lain yang mengambilnya lebih dulu.

Adegan romantis? Bukan, karena yang mengambil marshmallow itu ternyata adalah Sky, pendampingnya dalam salah satu projek sekolah.

"Sir." Sapa Sachio lebih dulu, Sky terlihat agak terkejut dan tak lama tersenyum kecil begitu matanya bertatapan dengan Sachio yang tubuhnya beberapa cm lebih tinggi dari Sky.

Bitter LoveWhere stories live. Discover now