25

113 29 7
                                    

Sachio tengah duduk di ruang tengah sambil membaca komik yang baru ia beli dua hari lalu, ditemani dengan segelas susu coklat hangat dan beberapa kupadan asin yang tadi siapkan ART juga diiringi dengan lagu klasik yang mengalun menenangkan.

Sachio memang akhir-akhir senang menghabiskan hari-harinya di rumah. Kemudian deru mobil membuat fokus Sachio teralihkan, itu pasti Papi dan Mami yang baru pulang dari urusan mereka.

Anak itu kembali fokus pada bacaannya sampai ia mendengar beberapa suara langkah kaki barulah anak itu menutup bacaannya.

"Abis darimana? Eh ada Eyang Rachel? Kok bisa?" Sachio terlihat terkejut begitu melihat wanita yang minggu lalu dikenalnya di taman malah ada di rumahnya, ia menduga Eyang Rachel ini adalah teman Mami atau Papi.

"Chio ada hal penting yang mau Papi, Mami, dan Eyang Rachel bicarakan. Sayang, kamu tahun umur berapa?" Tanya Papi dengan suara seriusnya yang tidak biasa digunakan pada Sachio. Anak itu menyergit sambil tangan mematikan musik yang mengalun.

"Loh Papi lupa umur aku? Tahun ini aku mau 18 tapi karena belum ulang tahun aku masih 17." Jawabnya dengan tenang.

"Kalau sudah mau 18 artinya sudah dewasa betul, boy?" Tanya Papi lagi, kini ia sembari duduk dan juga mempersilahkan Rachel untuk ikut serta duduk, sedangkan Mami memilih duduk disamping Sachio.

"Iya dong, i'am a man not boy, kan sudah dewasa." Sachio pun jadi menegakan duduknya, feeling-nya ada sesuatu hal serius yang akan terjadi.

"Okay, kalau gitu Papi minta Adek buat duduk disini sampai obrolan kita selesai ya, kalau ada yang bikin Adek nggak seneng atau Adek marah sama yang dibicarakan disini Adek janji jangan pergi dulu, dengerin semuanya sampai selesai, ngerti Man?"

Sachio menelan ludahnya dengan susah payah begitu menyadari hal yang dibicarakan kedepannya adalah hal yang benar-benar serius, disampingnya Mami mengelus lalu menggengam tangan yang kini lebih besar dari miliknya.

Menanggapi itu Sachio mengangguk. "Okay Pi."

"Yasudah dimulai saja, silahkan Bu." Papi menunjuk Eyang Rachel untuk buka suara, wanita yang kini jadi perhatian para Mahajaya itu bedehem dan tangannya tanpa sadar meremas rok yang ia gunakan  dengan kuat.

"Hallo Sachio, makasih kamu sudah inget Eyang, iya betul nama Eyang memang Rachel dan lebih tepatnya Eyang adalah ibunya Skyler Dewangga, Eyang ini ibunya papa biologis kamu." Rachel memperhatikan perubahan raut wajah Sachio yang tadinya ramah menjadi dingin.

Perkataan Sky tentang cucunya yang membenci Sky ternyata bukan bualan belaka, bahkan ia menangkap gidikan tidak suka dari Sachio saat ia menyebut nama Sky, rasa bersalah semakin memeluknya.

"Sachio, Eyang paham kamu mungkin marah sekali ke Papa dan Mama mu sekarang ini karena kamu merasa bahwa mereka tidak menginginkan kamu, perasaan kamu valid tapi sayang, maaf Eyang katakan ini bahwa marahnya kamu sepertinya salah alamat." Rachel diam sebentar membuat hening menyelemuti ruangan besar itu. Dilihatnya wajah Sachio ditekuk karena tidak menyukai topik ini, wajahnya betul-betul cetak biru Skyler.

"Sachio berhak marah tapi Eyang mohon jangan marah ke Mama dan Papa ya, Sachio marahnya ke Eyang aja, Sachio juga boleh bencinya ke Eyang aja." Suara Rachel mengecil, wanita itu berusaha menahan tangisnya. Karena mau ia bilang boleh nyatanya dalam hatinya ia tak ingin Sachio membencinya.

"Waktu tahu Saluna mengandung, orang tua kamu seumuran kamu sekarang, mereka datang ke Eyang minta untuk diberikan jalan keluar, untuk membantu mereka atas kebimbangan memiliki anak di usia muda dan di luar nikah." Rachel terdiam lagi, sesak yang ia rasakan juga dirasakan oleh semua yang duduk disana.

Bitter LoveWhere stories live. Discover now