14

179 37 23
                                    

Luna melangkah dengan gontai dari ruangan Sky menuju ruang rawat Sachio, jarak yang tidak terlalu jauh itu terasa sangat panjang karena pemikirannya yang bercabang.

Luna sudah tidak melihat Sky sebagai laki-laki tetapi kenapa hatinya berdenyut sakit ketika ia dikenalkan dengan tunangan lelaki itu?

Kenapa rasanya sangat sesak?

Kenapa matanya terasa panas? 

Kenapa rasanya air mata berdesakan ingin keluar seraya hatinya yang masih bergejolak?

Kenapa?

Pertanyaaan-pertanyaan itu mengambang tanpa bisa Luna jawab atau lebih tepatnya Luna takut ia sudah salah mengira perasaannya selama ini.

Luna akhirnya sampai di tempat tujuannya, ruangan Sachio. Perempuan itu masuk dan hal pertama yang ia lihat adalah Papi dan Mami tidur dengan saling memeluk di kursi luas yang ada di sana.

Lalu matanya beralih pada Sachio yang menatapnya dengan senyum kecilnya.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, kakinya melangkah sangat cepat, hingga akhirnya ia menangis sambil memeluk tangan Sachio yang tidak diinfus.

"Kok nangis sih Mbak?" Tanya Sachio pelan dengan suaranya yang agak serak, membuat Luna menangis semakin keras.

Luna menangis karena lega melihat Sachio sadar, selama ini ia sangat takut kehilangan anaknya, hartanya yang paling berharga.

Serta… melepaskan beban yang tadi menggelayutinya sembari terus berkata dalam hati, gakpapa Sky sudah menemukan cintanya yang lain, aku punya Sachio disisiku.

Tangis Luna reda karena efek tangisannya itu sampai membangunkan kedua orangtuanya.

"Kenapa sih nangis sampe segitunya?" Tanya Mami sambil mengusap punggung putrinya, sedangkan Papi memilih kembali tidur.

"Aku terharu Chio udah sadar." Jawab Luna agak terbata yang ditimpali tawa oleh Sachio kemudian remaja itu meringis.

"Chio ih, kamu tuh baru selesai operasi ketawanya jangan besar-besar dulu." Mami memperingati Chio karena khawatir, sedangkan yang diperingati hanya mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya.

Mirip banget. Desah Luna melihat tingkah Sachio.

"Lagian Mbak Lunanya gemesin." Sachio menjawab Mami.

"Gemesin gemesin yang gemes tuh kamu! Bener-bener ya bikin orang khawatir!" 

Bibir Sachio semakin maju saja karena merasa dimarahi, "Mamiii, Mbak Luna tuh marahin adek, padahal adek kan masih sakit." Adunya membuat Mami menatap Luna galak.

"Luna jangan gitu sama Chio."

Luna berdecak sedangkan Chio menjulurkan lidahnya pada Luna.

"Ohiya, kemarin aku keburu ngantuk, kok bisa Mr. Sky donorin livernya buat aku?"

Pertanyaan Chio itu membuat Mami dan Luna saling menatap bahkan Papi yang hampir kembali terlelap membuka kembali matanya karena pertanyaan Chio tersebut.

Mereka harus jawab apa?

Mereka harus jawab apa?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Bitter LoveWhere stories live. Discover now