Bab 1

1.2K 196 14
                                    

Seorang gadis menatap dirinya di depan pantulan kaca besar yang berada di meja rias kamarnya, bimbang ia menata jilbabnya. "Ini kayak aneh nggak sih?" gumamnya sendiri sembari menatap jilbabnya yang terurai panjang menutupi dada hingga perutnya, menghela napas, akhirnya ia kembali menyingkap jilbabnya hingga ujungnya berada di bahu. "Enggak apa-apa, Kal. Ayo berproses." Lanjutnya menatap dirinya serius di cermin lalu tersenyum cerah sebelum ia mengambil tasnya dan keluar dari kamar.

Kalina Nadhira Hifza, gadis yang kini mengunakan jilbab coklat susu itu tersenyum ketika melihat seorang laki-laki tiga tahun lebih tua darinya itu keluar dari kamar yang berada di samping kamarnya. "Mas!" sapanya ceria sembari melayangkan kepalan tangan meminta tos pada saudara laki-laki satu-satunya itu.

Setelah menyatukan kepalan tangannya dengan sang adik, Adnan—nama kakak laki-laki Kalina—mengusap kepala gadis dua puluh satu tahun itu sembari tersenyum. "Masya allah, akhir-akhir ini adiknya Mas tambah cantik deh, soalnya pake dalamen jilbab," ucapnya yang sukses membuat senyuman Kalina makin mengembang.

"Iya dong, harus itu, menutup aurat. Kasian ayah kalau aku terus lalai, Mas," balas Kalina mantap, lalu keduanya sama-sama berjalan menuruni tangga, menghampiri ayah mereka yang terlihat sudah rapi duduk di meja makan.

"Assalamualaikum, Yah." Adnan menyapa duluan, lalu menyalami tangan sang ayah, diikuti Kalina yang mencium pipinya manja lalu mereka sama-sama duduk di antara pria paruh baya itu.

"Waalaikumsalam." Hasan, laki-laki yang baru saja menginjak usia lima puluh tahun itu menjawab salam anak-anaknya dengan ceria.

Kalina tersenyum, ia lalu berdiri sedikit dan mengambil makanan yang sudah ia masak setelah salat subuh tadi untuk di hidangkan kepada kakak dan ayahnya. "Hari ini aku cuma masak nasi goreng sama telur dadar, soalanya tadi agak telat subuhan," katanya sambil menghidangkan nasi goreng ke piring ayahnya, lalu memberikannya kepada Adnan setelah ia mengisi piringnya sendiri. "Hari ini kalau sempet, Mas Adnan jemput aku di kafe ya? Sebelum sore, mau belanja beberapa bahan masakan yang hampir abis."

Semenjak ibunya meninggal tiga tahun lalu, memasak dan mengurusi kakak serta ayahnya sudah menjadi rutinitas untuk Kalina, apalagi ia kini menjadi perempuan satu-satunya di rumah ini.

"Enggak usah sama Masmu, Kal. Hari ini Ayah yang jemput kamu, kita udah lama enggak jalan berdua, kan?" kata Hasan. Sukses membuat Kalina yang baru saja kembali duduk menatap ayahnya itu berbinar.

"Wah, seru nih! Oke-oke, hari ini aku mau kuras uang ayah yang banyak." Semangat Kalina yang membuat kedua laki-laki disampingnya itu terkekeh.

Kalina tersenyum lalu memulai memakan sarapannya, ia harus banyak bersyukur, ia terlahir di keluarga yang amat sangat hangat, walau keberadaan ibunya kini sudah kosong, itu tidak menjadikan keluarga kecil itu menjadi renggang, justru mereka saling menguatkan dengan melengkapi, Kalina bersyukur sekali untuk itu.

Setelah menyelesaikan sarapannya dan meminum air putih di gelas hingga tandas, Kalina berdiri sembari merapikan tuniknya yang agak kusut karena ia duduk tadi. "Hari ini, bagian Mas cuci piring sama beres-beres rumah, ya, Kalina harus berangkat cepet, soalnya ada buku baru yang harus disusun di kafe," katanya menatap sang kakak. "Enggak usah di anter juga, Kal naik angkot aja."

"Iya, siap, Ibu Kalina." Adnan menggoda, membuat Kalina memutar bola matanya malas beberapa detik. Namun setelah itu, Kalina menatap ayahnya dan mengulurkan tangannya sembari tersenyum.

Kalina menyalami ayahnya. "Aku berangkat dulu ya, Yah. Inget, sebelum sore jemput aku, dandan yang ganteng juga ya," katanya sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Kenapa?"

"Siapa tau Kalina sama Mas Adnan dapet Mama baru," jawab Kalina dengan nada bercanda, sifatnya memang periang.

"Hus, apaan kamu. Ayah inget umur, sekarang nunggu anak-anak Ayah aja, Ayah mau menantu yang cantik dan ganteng," balas Hasan yang sukses membuat Adnan menatap Kalina dengan tatapan yang sulit di baca.

Kalina terkekeh kecil. "Mau memperbaiki diri dulu, Ayah. Biar nanti yang dapetin Kalina merasa beruntung punya Kalina, sekarang mending Ayah tanyain Mas Adnan, udah dua puluh empat tuh, mapan juga udah, suruh cari istri sana," katanya sembari menunjuk Adnan dengan dagunya. Sukses membuat Adnan melotot dan menundukan kepalanya kesal.

"Becanda, Mas. Tau kok susah nyarinya," kata Kalina. "Udah ah, Kalina berangkat dulu, Assalamualaikum, Ayah, Mas." Lanjutnya lalu menyalami Ayah serta Masnya sebelum ia berjalan keluar rumah.

"Kal." Namun, langkahnya terhenti ketika Adnan memanggilnya. Kalina kembali menatap kakaknya, bertanya lewat ekspresi, apa apa?

Adnan menatap Kalina dari atas kebawah, gadis itu memakai tunik juga kulot yang terlihat cocok ditubuhnya. Matanya terhenti di kaki Kalina yang sukses membuat Kalina ikut menatap kakinya.

Kalina menepuk jidatnya, tersenyum lebar lalu kembali menatap Adnan. "Lupa, Mas. Belum kebiasaan." Gadis itu segera membuka tasnya lalu mengambil kaos kaki yang selalu tersedia disana dan memakainya cepat. "Makasih udah ngingetin."

Adnan tersenyum puas, diikuti oleh Hasan yang tersenyum hangat melihat kedua anaknya itu. "Udah gih sana, katanya ada buku baru yang harus di susun?" kata Hasan yang membuat Kalina mengacungkan jempolnya, lalu kembali berjalan setelah sekali lagi pamit.

🌷🌷🌷

"Mbak Indah, saya duluan ya. Nanti kalau kafenya udah tutup, infoin lewat chat aja, oke?" Kalina membuka apron yang melilit di tubuhnya, gadis itu sedikit membenarkan jilbabnya agar rapi, lalu keluar dari kafe setelah membawa tasnya dan pamit kepada Indah dan beberapa karyawan yang ada di sana.

Kafe buku, adalah salah satu peninggalan mendiang ibunya yang menjadi tanggung jawab Kalina. Ibunya itu sangat suka membaca sehingga mendirikan kafe bernuansa klasik dengan banyak buku dari yang lama hingga baru juga berbagai genre yang gratis dibaca oleh siapapun yang berkunjung. Ya, itulah mengapa ada nama simple seperti kafe buku, orang-orang menyebutnya begitu.

"Assalamualaikum, Ayah!" sapa Kalina setelah masuk ke dalam mobil, menyalami Hasan yang tersenyum hangat sedari tadi melihatnya keluar dari kafe. "Maaf harus nunggu beberapa menit, Ayah sih, tiba-tiba chat kalau udah sampai, harusnya sebelum itu, jadi akunya siap-siap dulu. Lagian, kenapa enggak masuk coba? Jangan pake alasan ayah gak suka buku kayak biasa ya." Lanjutnya panjang lebar.

Hasan terkekeh, menggeleng sembari mengusap kepala putrinya yang tertutup jilbab. "Ayahmu ini udah tua, Kal. Kayak nanggung buat berdiri terus samperin kamu doang, mendingan nunggu disini, duduk. Lagian, Ayah emang enggak suka lama-lama di kafe ibumu itu, wangi bukunya kurang suka ayah," balasnya yang langsung membuat Kalina mendengkus. Ayahnya ini memang orang aneh menurutnya, masa tidak suka wangi buku? Jelas-jelas itu wangi paling menenangkan bagi Kalina.

"Udah, anak cantik jelek kalau cemberut gitu, senyum aja, paling cantik putri ayah ini kalau senyum." Hasan menjawil pipi sang putri, membuat Kalina tersenyum senang lalu menatap ke depan.

"Ya udah, ayo berangkat. Jangan ke supermarket ya, Yah. Kita harus ke mall, biar aku bisa habisin duit Ayah," katanya yang membuat Hasan tertawa renyah lalu menjalankan mobilnya dengan ahli setelah itu. "Asik nih, Mas Adnan pasti iri."

"Besok giliran masmu, Kal," kata Hasan. Ya, salah satu yang Kalina suka dari ayahnya adalah Hasan yang begitu adil kepadanya dan kakak laki-lakinya.

Beberapa detik hening, setelah itu, Kalina menatap ayahnya yang terlihat akan berbicara tetapi tidak jadi. Membuat Kalina mengerutkan keningnya sembari bertanya, "Mau ngomong apa, Yah?"

"Kal," ucap Hasan, ia menatap putrinya beberapa detik lalu kembali fokus menyetir.

"Kalau misalnya Ayah jodohin Kalina, apa Kalina keberatan?"

Bersambung

Mohon maaf bila ada kesalahan🙏🏻
Terima kasih sudah membaca part ini, jangan lupa tekan tombol vote jika kamu suka♡

RALINAWhere stories live. Discover now