Bab 2

827 185 14
                                    

Seorang laki-laki terlihat keluar dari kamarnya dengan keadaan rapi, ia berjalan membawa badan tingginya dan tersenyum tipis saat melihat gadis kecil berusia tujuh tahun tengah berlari melewatinya. "Nanti jatuh loh, Ra," peringatnya.

Raif Althaf Hasan, laki-laki itu menggeleng ketika ucapannya sama sekali tidak di respon oleh sang adik, adiknya itu malah terus berlari tanpa mendengarkannya. "Nanti jatuh, kamu yang sakit, terus repotin Umi loh," katanya agak keres untuk sekali lagi memperingati Raaida—nama adiknya—.

Raif masih terus berjalan, lalu menghampiri wanita berusia empat lima yang tengah duduk di sofa, sedari tadi memperhatikannya. "Mau kemana kamu, Mas?" tanyanya langsung, lalu menepuk tempat disebelahnya, menyuruh Raif duduk.

"Keluar, Mi. Mas mau cek barang di kantor," jawab Raif lalu duduk di tempat yang tadi Ayu—nama uminya— tepuk. Melihat ekspresi wajah uminya yang berubah, Raif terkekeh. "Kenapa muka Umi kayak gitu? Mas tambah ganteng kah?" candanya, lalu menggenggam tangan sang umi. "Tenang, Mi. Aku nggak apa-apa kok."

"Abi mana?" Raif segera mengalihkan pembicaraan saat melihat uminya masih akan membalas, laki-laki itu mengedarkan pandangannya mencari sang abi. "Oh iya lupa, jam segini pasti Abi udah berangkat kerja."

Ayu menggeleng, anaknya ini terlihat sekali mengalihkan pembicaraan. "Ya udah, sana kalau mau berangkat, oh iya, Mas. Nanti kata Abi, kamu jemput Abi di kantornya, ya? Abi tadi enggak bawa mobil kesana, bisa kan, Mas?" katanya melepaskan genggaman Raif. "Abi ada mau bicara sama Mas Raif."

Raif terdiam sejenak, tetapi detik kemudian ia mengangguk. "Ya udah, Mas berangkat ya, Mi. Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa telepon Mas aja," katanya lalu menyalami sang umi. Setelah itu, ia langsung berdiri dan mengambil kunci mobilnya, berjalan keluar setelah itu masuk ke dalam garasi.

Raif masuk ke mobil, tersenyum kala melihat sang adik keluar dari rumah dan membukakan pagar untuknya. Ia membuka kaca mobil, lalu menyalakan mesin mobilnya sebelum mengeluarkannya dari garasi dan pekarangan rumah. "Makasih, ya, Ra. Mas berangkat dulu, kamu tutup gerbang lagi terus masuk, jangan lari-larian terus juga, nanti jatuh. Assalamualaikum," katanya pada sang adik lalu segera melajukan mobilnya setelah Raaida membalas.

Raif menghela napas pelan, laki-laki itu mengeluarkan ponsel di dalam saku celananya, membukanya dan melihat banyak sekali notifikasi disana, sudah biasa. Bagaimana tidak banyak? Raif memilik enam juta empat ratus pengikut di media sosial, setelah dua tahun lalu semenjak pertama kali ia menceritakan kisah nabi adam di instagramnya lewat video, kini laki-laki itu bisa disebut termasuk salah satu artis dunia maya yang terkenal dengan konten dakwahnya.

Raif memang bukanlah orang yang benar-benar paham agama dengan sempurna, ia akui sendiri jika ia masih belajar. Hanya saja, karena Raif berada di lingkungan pesantren semenjak dia menginjak sekolah menengah pertama, Raif sangat senang membagi ilmunya dengan siapapun. Anggaplah menjadi terkenal karena kebaikan adalah bonus bagi Raif.

Namun, semenjak satu bulan lalu, Raif telah benar-benar menghentikan aktivitasnya membuat video. Ia seakan menghilang dari aktivitas maya itu.

Bukan karena apa, sebulan lalu, kabar jika Raif akan menikah memang benar adanya. Ya, Raif sudah berada di tahap ia mengkhitbah seorang gadis bernama Husna dan gadis itu menerimanya, gadis yang ia kenal karena sama juga menyebarkan konten dakwah di media sosial, dan kebetulan Husna adalah adik tingkat Raif di perguruan tinggi.

Siapa yang tidak heboh? Raif dan Husna jelas-jelas serasi bagi semua orang yang tahu jika mereka akan menikah. Namun sayang, ketika Husna telah mengumumkan ia menerima khitbah Raif, dan ketika acara pernikahan sudah akan di rincang secara matang, Husna tiba-tiba saja membatalkan semuanya. Tanpa kejelasan.

Raif bisa apa? Ia tidak bisa memaksakan kehendaknya, bukan? Hal itulah berakhir dengan nama mereka yang menjadi topik hangat dimana-mana. Banyak yang beranggapan buruk pada keduanya, dan lagi-lagi, Raif tidak bisa melakukan apapun, percuma juga jika ia harus berbicara kesana kesini jika faktanya adalah Husna yang tiba-tiba saja membatalkan semuanya.

Ya, nasi sudah menjadi bubur. Raif hanya bisa diam untuk masalah ini.

"Astagfirullah ...."

🌷🌷🌷

Raif menghela napas, pesannya sejak empat menit lalu sama sekali belum dijawab oleh sang abi. Bahkan, abinya itu belum membacanya sama sekali. Padahal, ia sudah berada di depan gedung kantor abinya untuk menjemput seperti apa kata uminya tadi.

Akhirnya, Raif keluar dari mobil dan masuk ke dalam area gedung, mau tak mau Raif yang harus menjemput abinya masuk. Sebenarnya, Raif sering kali datang kesini, hanya sekedar mengantarkan dompet abinya yang tertinggal atau saat abinya menyuruhnya datang. Jadi, tidak usah ditanya bagaimana reaksi orang-orang saat melihat ia masuk, semua tahu jika Raif adalah salah satu putra dari petinggi perusahaan mereka.

Dan poin tambahnya lagi, Raif memang terkenal. Jadi, walaupun ada karyawan yang tidak tahu siapa Raif, mereka akan tahu Raif adalah salah satu dari banyaknya orang terkenal di media sosial.

Mendapat tatapan berbeda-beda saat Raif berjalan melewati banyak orang juga bukanlah hal aneh bagi Raif. Apalagi, ia tahu bagaimana pandangan orang-orang terhadapnya kini. Ya Allah ... kadang Raif muak, tapi ia tahu semua ini adalah risiko untuknya.

Raif berusaha tidak peduli, tidak ada yang bisa menilainya lebih baik selain dia sendiri juga Allah.

"Assalamualaikum, Bi." Kini, laki-laki itu sudah membuka pintu ruangan abinya. Bukan tidak sopan, ia memang di suruh langsung masuk ketika berpapasan dengan sekretaris abinya diluar. Ya, Amar—nama abi Raif— ternyata memang sengaja membuat putranya datang.

Amar tersenyum kecil. "Duduk, Mas," suruhnya kemudian yang membuat Raif mengangguk dan mendudukan dirinya di sofa yang berada di ruangan itu. Pria paruh baya itu segera berdiri dari kursinya, lalu berjalan perlahan mendekati sang putra.

"Ada apa, Bi? Katanya mau di jemput, kok malah Mas yang kesini?" tanya Raif sopan, ia menatap Amar yang kini sudah duduk di dekatnya. "Oh iya, tadi Umi bilang Abi ada mau ngomong sama aku, apa, Bi?"

"Kamu tadi abis dari kantormu, Mas?" Bukannya menjawab Raif, Amar malah bertanya padanya. "Abi enggak ganggu jam kerja kamu kan?"

Raif menggeleng, dia memang mempunyai bisnis dibidang fashion untuk usahanya, Raif juga memiliki bisnis indekos, bisa disebut Raif sudah mapan, sangat. Alhamdulillah. "Enggak, Bi. Jam kerja Mas, kan, fleksibel, abi tau sendiri kan?" jawabnya.

Amar hanya mengangguk. "Abi memang ada mau ngomong sama kamu, ini penting, Nak," suaranya melembut. Sukses membuat Raif menegakkan tubuhnya, siap mendengarkan abinya itu.

"Abi tahu, satu bulan ini pasti terasa berat buat Mas Raif, kan? Abi juga mengerti keadaan Mas Raif sekarang," ucap Amar memulai. "Abi bakal serahkan semuanya pada Mas Raif, inget, Abi tidak memaksa, Mas Raif bisa pikirkan ini matang-matang."

Raif menyimak abinya.

"Mas Raif ini, kan, usianya sudah matang, sudah sangat mapan, dan siap menikah. Terbukti dengan beberapa bulan lalu Mas Raif meminta izin kepada abi untuk menikahi seorang gadis pilihan Mas Raif, walau—" Amar menggantung ucapannya lalu menghela napas, ia memilih tidak melanjutkan ucapannya yang satu ini karena tahu putranya sudah mengerti.

"Seperti yang Abi bilang, Abi tidak memaksa. Tapi ... Abi punya seorang teman, Mas. Dia punya putri, kemarin, saat mengobrol, kita berinisiatif untuk mengenalkan kalian, takdir gak ada yang tahu, Mas Raif tau itu kan?"

Raif masih diam, mencoba mengerti apa yang Abinya maksud. Laki-laki itu menghela napas. "Jadi, maksud Abi ... Abi mau jodohin Raif?"

Bersambung

Mohon maaf bila ada kesalahan🙏🏻
Terima kasih sudah membaca part ini, jangan lupa tekan tombol vote jika kamu suka♡

RALINAWhere stories live. Discover now