Bab 11

714 147 13
                                    

"Assalamualaikum," salam Raif, membuat Kalina yang sedang fokus membereskan baju didepan lemari menoleh, gadis itu menjawab salam, lalu melihat sang suami mendekatinya lalu ikut duduk disampingnya, ah ya, ia tengah duduk di lantai.

"Udah beres semua, Mas?" tanya Kalina, ia kembali fokus membereskan baju.

Raif mengangguk. "Udah, belanja kebutuhan dapur besok aja, ya? Nggak apa-apa, kan?" jawab Raif, tangannya kini bergerak membantu Kalina membereskan baju. "Besok Mas kayaknya mau ke kantor sebentar, sekitar siangan, kalau kamu mau ikut nggak apa-apa, kamu mulai ke kafe seminggu lagi, kan?"

Kalina mengangguk. "Iya, Mas."

Hari sudah larut, sekitar jam sepuluh malam, mereka akhirnya menyelesaikan semuanya. Hari ini, Raif dan Kalina benar-benar disibukkan dengan urusan rumah baru mereka sedari pagi tadi.

Kini, Kalina dan Raif sudah berdiri dari duduk mereka. Kalina segera berpamit untuk membersihkan dirinya, sedang Raif, laki-laki itu turun ke bawah, ia berniat membuat teh untuknya juga sang istri.

Raif kini sudah berada di dapur, dapur bernuansa putih dengan aksen kayu yang Kalina pilih sebelum mereka menikah, sungguh indah di pandang, terlihat masih kosong, tetapi Raif mempunyai beberapa stok teh karena memang beberapa kali ia tempati rumah ini.

Tangan Raif telaten menyiapkan teh menandakan ia sering melakukan hal sama, tetapi kali ini, ia menyiapkan dua cangkir yang kini sudah tersaji teh hangat di dalamnya. Laki-laki itu segera mengambil kedua tehnya dengan kedua tangan, lalu berjalan menuju kamar kembali.

"Kal?" Raif masuk ke dalam kamar, senyumannya terbit saat melihat Kalina yang duduk di depan bercermin di meja riasnya, laki-laki itu melangkah mendekati sang istri, meletakkan teh di meja rias yang masih kosong itu lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kalina, ia membisikkan, "Allahumma kama hassanta khalqi fahassin khuluqi."

Kalina terdiam, tidak, kenapa jantungnya berdebar tiba-tiba? Gadis itu menahan napasnya, tetapi detik kemudian ia membalas senyuman suaminya. "Loh? Mas Raif bikin teh dimana?" tanyanya kemudian saat melihat teh yang Raif letakkan tadi.

"Dapur lah," jawab Raif menatap Kalina. "Tehnya emang udah ada, Mas beberapa kali tidur disini karena rumah kan agak jauh dari kantor." Lanjutnya yang membuat Kalina mengangguk.

"Kirain aku Mas kemana tadi," ucap Kalina, ia membawa salah satu cangkir teh dan berdiri, diikuti Raif dan akhirnya mereka pun duduk di sofa yang berada di dekat jendela kamar mereka yang di desain besar—kini sudah tertutup gorden—, sofa itu tepat berada di depan jendela.

"Makasih tehnya, Mas." Kalina masih tersenyum, menatap Raif yang sudah duduk disampingnya lalu meminum teh yang suaminya itu siapkan.

Raif hanya membalas senyuman itu sambil mengangguk, lalu meminum tehnya juga, laki-laki itu lalu menyimpan cangkirnya di meja yang ada di samping, lalu menatap Kalina lekat, gadis itu kini terdiam menatap lurus sembari menggenggam cangkir dengan kedua tangannya. "Aku masih nggak nyangka, Mas," lirihnya menghela napas.

Raif menggeser duduknya, ia mendekatkan dirinya dengan Kalina. "Kenapa?" Seperti biasa, suara lembutnya terdengar bertanya, tangannya kini bergerak menelisik halus rambut Kalina, seakan tidak tahu jika ia berbuat seperti itu, jantung istrinya langsung berdegup lebih kencang.

"Ya, jadi kayak gini, Mas," jawab Kalina, matanya dan Raif kini saling bertemu. "Aku masih nggak nyangka kalau hari-hari aku sekarang, dan seterusnya ... aku bukan lagi Kalina yang bisa terus manja sama Ayah dan selalu ngandelin Mas Adnan."

"Bareng Mas sekarang, beneran sedeket ini, aku masih nggak nyangka aja, Mas," lirih Kalina, lalu menyimpan cangkir teh yang masih ditangannya. "Pokoknya gitu deh."

RALINAWhere stories live. Discover now