Bab 10

820 175 22
                                    

"Assalamualaikum." Kalina yang baru saja masuk ke kamar mengucap salam. Bisa ia lihat, Raif yang sedang membaca buku di atas ranjang langsung menoleh, tersenyum kearahnya dan membalas salam Kalina kemudian. "Maaf lama, Mas." Ia kembali berucap karena ia baru saja kembali setelah tadi Raaida memintanya untuk ditemani.

"Nggak apa-apa," ucap Raif, ekor matanya mengikuti Kalina yang berjalan mendekatinya, dan kini, istrinya itu sudah mendudukan diri di sampingnya, membuat laki-laki itu langsung menutup buku bacaannya dan menyimpannya sebelum mengubah posisi agar mereka semakin dekat.

"Mas ini ngapain liatin aku terus?" tanya Kalina mengerutkan kening canggung, karena memang sedari tadi Raif tidak memutuskan pandangan menatapnya.

Raif terkekeh. "Mau ngobrol dulu?" tanyanya menawarkan. "Masih jam sembilan, kamu belum mau tidur, kan? Mas mau jelasin yang tadi siang, mau minta maaf juga karena tiba-tiba pergi tadi."

Bukan, bukan karena marah atau Raif tipe laki-laki yang meninggalkan Kalina begitu saja dalam keadaan seperti itu, tadi siang, Raif datang ke kamar memang karena mau menyiapkan diri karena di ajak abinya pergi, jadi, mereka belum punya waktu untuk mengobrolkan hal tadi siang.

Tanpa menunggu Kalina membalas—karena memang istrinya itu tidak membalas—Raif langsung berbicara, "Besok, jangan liat berita kayak gitu lagi, ya, Kal? Mas larang kamu karena emang itu bakal buat kamu sedih liatnya, sekarang, banyak banget orang yang menilai tanpa berpikir dulu."

"Bukan kamu aja, bahkan Umi sama Abi udah Mas larang juga, Mas lakuin ini cuma karena Mas nggak mau kalian ikut terbebani dan ngerasa sedih karena Mas." Raif melanjutkan ucapannya sembari menatap Kalina dalam. "Kalau boleh pilih Mas ngulang dan nggak milih jalan ini, Mas pasti bakal pilih, karena ya, jadi kayak sekarang bukan dapet baiknya aja, tapi ada buruknya juga." Laki-laki itu menghela napas lalu mengelus lengan Kalina dan menggenggamnya pelan.

"Walaupun kamu bilang kamu nggak apa-apa dan nggak masalahin itu, Mas nggak bisa Kal, Mas tau itu tetep buat kamu sedih dan kepikiran, dan itu yang Mas nggak mau, kamu ngerti, kan?" Raif tersenyum. "Mas tau kamu pasti penasaran, tapi hal kayak gitu lebih baik nggak kita liat, kan?"

"Iya, Mas." Kalina mengangguk. "Tapi, Mas, aku boleh nanya nggak?"

"Apa?"

"Mas Raif kenapa nggak pernah aktif lagi? Padahal aku dulu suka loh liat video Masnya," tanya Kalina, gadis itu melepaskan genggaman Raif dan meneggakan tubuhnya, seakan sudah siap mendengar jawaban suaminya itu.

"Mas nggak mau bohong dengan bilang Mas berhenti buat video bukan karena berita Mas gagal menikah, Mas memang rehat setelah kejadian itu, butuh waktu banyak dan ya, karena mungkin pandangan orang-orang ke Mas juga udah berbeda," jelas Raif menjawab. "Tapi Mas bisa sebarin kebaikan dengan cara lain, kan?"

"Mas bukannya berhenti, mungkin rehat sejenak? Mas nggak bisa pastiin juga," kata Raif lagi. "Dan soal kemarin, sebenernya Mas juga seharusnya nggak posting foto kemarin, ya? Tapi setelah di pikir-pikir, itu harus, karena kamu tau sendiri, kan? Suamimu ini bisa aja dikenal sama orang random dijalan, takutnya ... waktu Mas nanti jalan sama kamu, malah nimbulin hal nggak nggak lagi."

Kalina mengangguk mengerti, membuat Raif tersenyum dan mengelus surai halus istrinya. "Makasih, ya, Kal?"

Tidak membalas ucapan sang suami, Kalina malah bergerak memeluk tubuh tegap didepannya itu, entah keberanian dari mana, karena saat sudah berada di dalam pelukan Raif, keduanya sama-sama terkaget. Tetapi itu tidak menjadikan pelukan mereka lepas, malah—walaupun harus menetralkan debarannya—Raif membalas pelukan itu, pelukan yang mungkin setelah ini adalah favorit barunya.

🌷🌷🌷

"Udah siap?" Raif masuk ke dalam kamar, melihat Kalina tengah berdiri di depan kaca yang menempel di lemari. Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh, mereka akan pergi sekarang.

RALINAWhere stories live. Discover now