Bab 3

767 179 6
                                    

Raif yang sedang fokus membaca Al-Qur'an, menoleh kala mendengar pintu kamarnya di ketuk, menyelesaikan ayat bacaannya, laki-laki itu lalu segera berdiri setelah menyimpan kitabnya itu di meja didepannya. Ia berjalan mendekati pintu, lalu membukanya dan memperlihatkan sang adik yang mendongak menatapnya.

"Mas dipanggil Umi," kata Raaida langsung setelah menatap sang kakak. Gadis itu lalu segera berjalan meninggalkan Raif yang hanya membalas dengan anggukan dan usapan lembut dikepalanya.

Tanpa menunggu lama, Raif segera berjalan, seperti biasa uminya pasti berada di ruang tengah. Jadi, kakinya melangkah kesana. "Ada apa, Mi?" tanya Raif segera ketika sudah berada di dekat sang umi.

"Gimana, Mas?" tanya Ayu menatap putranya. "Kalau emang Mas mau, dan udah yakin, Mas bisa ajak pihak perempuannya taaruf." Lanjutnya yang sukses membuat Raif menahan napasnya.

Tiga hari sudah berlalu semenjak ia dan abinya mengbrol di kantor. Raif sengaja meminta waktu untuk memikirkan semuanya, tentu saja ia merasa bimbang.

Kini, laki-laki itu duduk di sebelah uminya. Ia menghela napas lalu duduk dengan kepalanya yang menunduk. Tanpa menatap uminya, ia menghela napas gusar dan berkata lirih, "Mas bingung, Mi ...."

Ayu tersenyum hangat, wanita itu mengusap punggung putranya lalu membelai rambutnya halus. "Mas, Umi tau semuanya terlalu membingungkan, kan? Umi ngerti keadaan Mas, tapi ... gimana jadinya kalau emang ini udah jalan buat Mas? Mas coba dulu aja, ya, kenalan sama pihak perempuannya? Nanti, Umi deh yang anterin Mas buat ketemu orang tuanya."

Raif menghela napas dalam, ia sedikit tersenyum lalu terdiam agak lama. Setelah itu, laki-laki itu menggeleng. "Biar Mas dulu yang dateng sendiri, Umi. Tapi, kasih waktu empat hari lagi ya, Mi? Mas mau mikirin ini mateng-mateng."

Tersenyum puas, Ayu mengangguk. Umi dari dua anak itu seakan merasakan bahagia yang tidak bisa diutarakan mendengar penuturan anaknya. "Inget, Mas. Rezeki, jodoh dan maut itu adalah rahasia Allah, Allah udah siapkan semuanya untuk kita. Tugas kita, ya, menjalani dan berusaha, kan? Insya Allah, ini jalan buat Mas, enggak ada yang tau, Mas."

Ada sedikit rasa lega di hati Raif, perkataan uminya seakan menyadarkannya akan sesuatu. "Mi," panggil Raif lalu meneggakan kepalanya menatap Ayu. "Proses taaruf dulu kan, Mi?" tanyanya, padahal ia tahu jika jawabannya adalah iya, hanya memastikan dan menunggu uminya akan menjawab apa.

"Iya, Nak. Kamu taaruf dulu, soal kamu merasa cocok atau tidak, dan bagaimana pihak perempuannya kepada kamu, kami serahkan semuanya pada kalian. Sebagai orang tua, kita hanya memberi jalan untuk kalian," jawab Ayu tak memudarkan senyumannya.

🌷🌷🌷

Kalina yang sedang duduk memperhatikan laptopnya menoleh kala mendengar suara pintu kamarnya yang di ketuk. "Kal, ngobrol sama Mas, yuk?" Terdengar suara Adnan, membuat Kalina langsung mematikan laptopnya dan berdiri menghampiri pintu kamarnya.

Kalina membuka pintu kamarnya. "Ada apa, Mas?" tanyanya langsung saat melihat wajah Adnan.

Adnan tersenyum tipis. "Ayo ke ruang tengah, Mas mau ngomong sama kamu," katanya, lalu menarik tangan Kalina agar adiknya itu mengikuti langkahnya.

Kini, kedua saudara itu sudah sama-sama duduk di sofa ruang tengah. "Ayah mana, Mas? Tumbenan enggak ada, biasanya jam segini Ayah pasti lagi nonton tv." Kalina membuka suara, menerawang ke sekelilingnya, tidak menemukan sang ayah.

"Ke kamar dulu sebentar," jawab Adnan seadanya.

Kalina hanya mengangguk. "Terus, Mas mau ngomong apa sama aku? Tumben juga Mas ajak aku ngobrol disini? Biasanya juga langsung didepan kamar, kenapa?" brondongnya kemudian.

"Gini, Dek ...." Baiklah, sekarang Kalina tahu jika Adnan akan benar-benar membicarakan hal serius jika sudah begini. "Kamu tau, kan, rencana Ayah jodohin kamu sama anak temennya?"

Ya, tentu saja. Seminggu yang lalu semenjak pembicaraannya dengan sang ayah di mobil, Kalina jadi mengerti jika pembicaraan mereka akan mengarah kesana.

Ah iya, Kalina sama sekali tidak berbicara soal perjodohan itu, ia masih diam, terlalu tidak mengerti dengan keadaannya sendiri. Menurut Kalina, semuanya terjadi terlalu tiba-tiba.

"Mas juga awalnya enggak setuju sama Ayah, Kal. Tapi, setelah Ayah jelaskan, Mas pikir boleh juga, Mas tahu kamu pasti mampu, soal siap enggak siap, Mas sama Ayah serahin semuanya ke kamu," ucap Adnan tersenyum.

Kalina mengerutkan keningnya. "Serahin ke aku? Maksudnya, Mas?"

Adnan tersenyum. "Niat kita menjodohkan kamu, bukan memaksa, Kal. Kita enggak bakal bilang kalau kamu harus nerima dia walau kamu enggak mau, misalnya," jawabnya. "Jadi, nantinya, kalian akan melaksanakan tahapan pertama untuk saling mengenal, taaruf."

Melihat Kalina yang masih terdiam meminta penjelasan lebih, Adnan menghela napas. "Kamu tau kan, Dek? Proses kenalan, tapi sesuai dengan syariat, kamu nanti di kasih kesempatan buat mengenal siapa laki-laki itu, beneran mengenal, sebelum kamu tentuin, kamu mau lanjut apa enggak. Ini bebas, gimana kamu, kalau emang kalian ngerasa enggak cocok, kita enggak maksa."

Kalina mengangguk. "O-Oh, iya, Mas."

"Tadi, anaknya temen Ayah, laki-laki itu ... datang kesini," kata Adnan. Sukses membuat Kalina langsung membelalakan matanya. Tadi?

"Pas kamu masih di kafe," jelas Adnan. "Mas kaget tau liat orangnya, kayaknya kamu tau, pasti." Laki-laki itu kembali tersenyum. "Ternyata dulu kita temen kecil, Mas enggak inget, sih, tapi kata Ayah gitu."

"Oh, laki-lakinya seumuran Mas?"

"Iya." Adnan mengangguk. "Tadi dia kesini, datengin Mas sama Ayah sendiri, mengutarakan niat buat minta taaruf, tunggu." Lanjutnya, lalu terlihat berdiri dan mengambil sesuatu di laci yang ada di ruang tengah itu. Sebuah Map. Ia kembali mendekati adiknya dan memberikan itu pada Kalina.

"CV taarufnya." Adnan memperlihatkan itu pada Kalina. "Kamu buat juga, ya, nanti ketentuan sama contohnya Mas kasih tau."

Kalina menatap map yang di pegang Adnan. "Aku boleh liat Mapnya, Mas?" tanyanya. Sungguh, bahkan ia tidak tahu bagaimana laki-laki yang mengajaknya taaruf itu. Jadi, untuk sekedar tahu wajah dan namanya terlebih dahulu, itu tidak apa-apa kan?

"Sebelumnya, kamu menerima ajakan taaruf ini, Kal?" Adnan malah bertanya balik.

"Enggak ada salahnya, kan, Mas? Lagian enggak boleh nolak ajakan baik, soal cocok enggak cocok kan nanti aku yang milih, kan?" jawab Kalina, sungguh, jawaban itu tiba-tiba terlontar dengan mantap.

Adnan melirik sang adik hangat, lalu memberikan map yang ia pegang pada adiknya. Perlahan, Kalina mengambil map itu, lalu segara memperhatikannya dengan detail. Menghela napas, ia sungguh penasaran.

Saat membuka, matanya langsung tertuju pada sebuah biodata data diri, layaknya CV pada umumnya, tetapi ini ada beberapa lembar, terasa dari ketebalannya. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Kalina.

Tubuh gadis itu tiba-tiba saja kaku, matanya terpaku melihat kertas didepannya. "Mas ... ini?"

Adnan mengangguk. "Kan, Mas tau kamu pasti tau."

"Tapi—

"—Mas, laki-lakinya Raif Althaf?!"

Bersambung

Mohon maaf bila ada kesalahan🙏🏻
Terima kasih sudah membaca part ini, jangan lupa tekan tombol vote jika kamu suka♡

RALINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang