Bagian 9

1.2K 246 6
                                    

"Berapa kali papa kasih tahu kamu Jeka?. Berhenti mencari masalah. Papa pusing ngeliat tingkah kamu yang makin hari makin hancur."

Malam itu, setelah Jeka pulang dengan wajah yang terluka karena bertengkar dengan Verrel, tak Ia sangka, papa nya tiba-tiba datang ke kediaman nya.

"Kamu berantem sama siapa lagi?."

Jeka terkekeh pelan, papa nya terlihat dingin, tapi sebenarnya Jeka mengerti, terselip rasa khawatir disana.

"Bukan siapa-siapa,"

"Jeka Alexander!. Papa tanya, siapa orangnya?."

Jeka mendengus, lalu melangkahkan kakinya ke arah sang ayah yang duduk di sofa seberang. "Verrel. Verrel Hugo. Papa tahu dia?."

"Hugo?. Sudah lama tidak dengar nama sialan itu muncul ke permukaan." Gumam sang papa.

"Besok pagi, papa ada tugas perjalanan bisnis selama satu bulan di Belanda. Papa harap, papa tidak mendengar selentingan berita menyedihkan lainnya."

Papa Jeka terlihat begitu tegas. Meski Jeka anak semata wayangnya, beliau tak mudah untuk takluk dalam menghadapinya. Keturunan Alexander ini dikenal sangat ganas di dunia bisnis. Maka, tak jarang banyak pengusaha-pengusaha yang cukup segan pada keluarga ini.

"Iya, terserahlah pengen pergi kemana, kalau perlu gak usah pulang kayak yang mama lakuin."

"Jeka, kita sudah bahas ini berkali-kali." Tukas sang ayah, kini nada suaranya sedikit sedih.

"Papa pergi dulu. Jaga diri baik-baik."








Samsak di hadapan Jeka kini menjadi korban sekaligus saksi atas kemarahan pria itu. Umpatan nya terlampau kasar dan tidak menyenangkan.

Darah, air mata, dan keringat menyatu padu dengan begitu rapat, menggambarkan dengan tepat keadaan pria itu saat ini.

"Brengsek!."

Jeka benci, sangat benci ketika secara tak sadar Ia membawa-bawa topik tentang ibunya tadi. Ibunya tidak pernah memikirkan nya. Ya, lantas, apakah Jeka harus memanggilnya dengan sebutan itu?.

Jeka mendengus, lalu menelpon Miqdar. Salah satu teman se per bangsatannya.

"Panggil Ersy kesini."

Sedangkan di seberang sana, Miqdar mengernyit tak mengerti, "Maksudnya?"

"Turutin aja, Lo gak budek kan?."

"What?. Bentar Jek, Lo udah punya Rosela, kenapa tiba-tiba minta gue panggilin si Ersy?."

Jeka mendadak tertegun, ya, benar, dia sudah punya Rosela.

"Jek, Lo gak—,"

Tuut.

Maka, secara sepihak, Jeka mematikan teleponnya. Lalu, perlahan, mendudukkan tubuhnya. Melempar ponselnya dengan kasar.

Pria itu dengan penampilannya yang berantakan, dengan nekat mengambil kunci mobil, berniat untuk mendatangi Rosela tengah malam begini.

Namun, ketika perawakan dirinya tertangkap oleh cermin di samping, hal itu mampu memberhentikan langkahnya. Dengan spontan, Jeka memukul cermin di hadapannya.

Wajah sang ibu tiba-tiba hadir di cermin itu. Meneror Jeka dengan senyuman penuh kasih sayang, yang bahkan tak pernah Jeka dapat dari sosok itu.

"Rosela. Gue, gue butuh Lo." Dengan lirih, Jeka menyebut nama itu.

Tangannya berdarah-darah, tapi rasanya, Jeka seolah tak merasakan sakit di area tersebut. Padahal, sekujur tubuhnya kini memiliki luka.

Bibirnya tertawa, tapi, siapa yang tahu, bahwa hatinya meraung-raung, berteriak begitu pedih. Menyuratkan pada dunia, jika dia merasa tersakiti karena situasi ini.

I'M THE WINNER Where stories live. Discover now