Biologi

111 25 84
                                    






Malam Senin adalah malam yang sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Pasalnya, malam Senin adalah awal dari segala kegiatan padat yang akan dijalani setiap mahluk hidup di bumi.

Dari setiap mahluk hidup yang sangat antusias menyambut datangnya hari Senin adalah para anak sekolah. Di hari Senin, mereka akan melakukan rutinitas menegangkan sekaligus melelahkan. Upacara bendera.

Dasi, topi, buku, tugas, dan perlengkapan sekolah lainnya sudah tertata rapi. Sore tadi seragam sudah disetrika oleh mbok Darmi, sementara buku untuk besok sudah Kinara siapkan.

Tugas Biologi.

Note kecil yang tertempel di dinding samping rak buku, sudah tiga hari belum lepas. Pertanda jika tugas itu belum dikerjakan.

Kinara mendesah pelan, kantuk yang menyelimutinya tak lantas membuat Kinara bergegas naik ke atas kasur. Matanya justru masih terjaga dengan tangan yang masih sibuk menyelesaikan tugas Biologi. Membuat glosarium dan peta konsep untuk materi yang akan dipelajari besok, tentang metabolisme.

Bahasa-bahasa ilmiah yang ditemui dalam setiap rangkaian kalimat berhasil membuat Kinara migren. Tugas sekolah memang selalu menguras otak.

"Zaman udah maju tapi masih aja tugas sekolah ditulis tangan," keluh Kinara dengan mata hampir terpejam.

Guru mata pelajaran Biologi memang masih sangat konservatif. Tidak mengizinkan setiap tugasnya dikerjakan selain dengan tulis tangan. Menurutnya, jika tugas dikerjakan dengan diketik, para murid hanya akan meng-copy paste. Atau bisa saja meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya.

Maka dari itu, pak Budi selaku guru mata pelajaran Biologi membuat peraturan bahwa setiap tugas dan laporan praktikum ditulis tangan.

"Jangan tidur, Ki. Jangan tidur!" Kinara bergumam dengan mata terpejam. Mantra-mantra yang ia ucapkan tidak diikuti dengan sebuah tindakan.

Sebelum benar-benar jatuh tertidur, suara ketukan di pintu kamarnya langsung mengusir kantuk Kinara. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, Kinara menyeret kakinya untuk membuka pintu.

"Kak Gema!" Kinara terkejut mendapati sosok Gema berdiri di depan pintu kamarnya.

Flight jaket hitam yang dikenakan Gema saat membeli ketoprak bersama Kinara masih melekat di badannya, dan di punggungnya ada tas ransel. "Udah mau tidur?" tanya Gema sambil memperhatikan Kinara.

"Belum."

"Kalau gitu kita ke bawah, ngerjain tugas. Kamu belum ngerjain, kan?" Gema berbalik, kaki panjangnya menuruni satu per satu anak tangga. Ia bahkan tidak menunggu Kinara.

"Kak Gema tunggu!" Kinara bergegas mengambil alat tulisnya, tanpa menutup pintu ia langsung menyusul Gema.

Menghentikan langkahnya, Gema berdiri di pertengahan tangga sambil tersenyum menatap penampilan Kinara yang tampak semrawut. Meski begitu, Kinara tetap menjadi perempuan tercantik kedua di hati Gema. Setelah mamanya.

"Ayo!" Begitu berdiri di samping Gema, tangan Kinara langsung menarik laki-laki itu menuju ruang tengah. Tempat ternyaman yang akan digunakan untuk belajar.

"Non, Aden, mau Mbok buatin apa untuk menambah semangat belajarnya?" Mbok Darmi, wanita paruh baya dengan daster kebesaran itu menghampiri kedua muda-mudi.

"Kalau Kinara mau mi rebus. Telor ceplok setengah matengnya dua, dicampur sosis, daun bawang, tomat, sama di atasnya ditaburi bawang goreng, ya. Oh, iya, Kinara mau minum es teh. Kalau Kak Gema mau makan apa?"

"Ki, serius?" Gema terperangah.

Kinara memiringkan kepalanya sambil menatap Gema. "Kak Gema kenapa liatin Kinara kayak gitu?"

"Ki, ketoprak dua porsi tadi pergi ke mana?" Tampang Gema begitu polos saat bertanya. Sungguh, porsi makan Kinara memang luar biasa. Tubuhnya kecil, tapi gudang tengahnya memiliki kapasitas yang besar.

Gemara [On Going]Where stories live. Discover now