My Little Angel

82 17 48
                                    


Rasanya benar-benar lega, tidak ada kekhawatiran yang membebani hatinya. Kepulangan kedua orang tuanya yang lebih awal membawa angin segar bagi Gema, terlebih pada sang gadis manja yang saat ini tengah terlelap nyama di atas tempat tidur.

"Sayang."

Gema tersentak. Kepalanya terangkat menatap bergantian papa dan mamanya, wajah lelahnya begitu kentara sampai-sampai membuat kedua orang tuanya khawatir.

"Kinara udah nggak apa-apa, kan, Ma?" Walau sudah melihat dengan mata kepalanya bahwa Kinara baik-baik saja, Gema masih ingin memastikan langsung dari mulut mamanya.

"Kinara baik-baik aja, Ge. Sekarang, kamu ikut Papa sama Mama pulang, ya? Muka kamu pucat," ujar Mayang seraya duduk di samping Gema. Dua hari tak melihat putra kesayangannya membuat Mayang merindukan sekaligus mengkhawatirkan Gema.

"Tapi Kinara--"

"Sayang, Kinara nggak sakit parah. Dia hanya alergi, Mama juga udah periksa dia dan kasih salep kulit itu akan membuat tangan Kinara baik-baik aja. Kamu boleh menjaga Kinara, tapi kamu juga harus menjaga tubuh kamu, Ge," tutur Mayang lembut. Matanya memandang Gema sayang, sebagai seorang ibu, Mayang tahu jika Gema memiliki rasa pada anak sahabatnya itu.

"Ada Mbok Darmi, Ge. Nanti kalau ada apa-apa Mbok Darmi bakalan kasih tahu kita." Andi ikut menambahkan. Keadaan Gema saat ini sudah tidak bisa dipaksakan untuk menemani Kinara. Andi yakin jika Gema belum mandi dan makan, semua terlihat jelas di wajah sang putra.

"Gema pamit dulu sama Kinara." Berdiri dari duduknya, Gema mendekati tempat tidur Kinara. Pandangannya tertuju pada tangan Kinara yang sudah lebih baik dari sebelumnya, hati Gema pun tenang.

"Ki, aku pulang dulu, ya. Have a nice dream, My little Angel," bisik Gema lirih.

"Mas, Gema ...."

Andi merangkul pundak sang istri. "Nggak apa-apa, Sayang. Itu adalah proses menuju dewasa. Tugas kita adalah mendukungnya, Mayang," ucap Andi tanpa melepas pandangannya dari Gema.

Senyum di wajah Andi dan Mayang tersungging saat Gema melangkah ke arah mereka. Sepertinya ia sudah siap untuk pulang, dan Gema memang harus pulang.

"Ayo, Sayang." Mayang menyambut Gema, merangkul lengan putra semata wayangnya. "Nanti mau Mama masakin apa buat makan malam?" tanya Mayang saat mereka menuruni tangga.

"Gema mau nasi tutug oncom."

"Boleh tu, udah lama kita nggak makan nasi tutug oncom," kata Andi dengan wajah penuh semangat.

"Mbok Darmi." Mayang menghampiri mbok Darmi yang berdiri di di ruang tamu sambil membawa nampan berisi minuman. "Ya ampun, Mbok. Nggak usah repot-repot. Ini kita juga udah mau balik."

"Minum dulu, Nyonya, Tuan, Den Gema. Mbok juga buat brownies kukus, sebentar lagi masak," tutur Mbok Darmi sopan. Perasaannya jauh lebih baik setelah Kinara sudah ditangani oleh Mayang. Mamanya Gema sekaligus dokter spesialis kulit.

"Makasih Mbok untuk minumannya. Tapi kita semua mau langsung pulang. Ini Gema minta dibuatin nasi tutug oncom sama Mamanya. Jadi kita nggak bisa lama-lama." Andi mendudukkan diri di sofa lalu meneguk teh hangat yang disajikan mbok Darmi. Sebuah usaha agar wanita paruh baya itu tidak bersedih.

Sikap Andi diikuti oleh Mayang dan Gema, selepas menghabiskan teh hangat keluarga Gema pamit pulang. Dan Mayang sedikit berpesan jika Kinara sudah bangun, segera kabari mereka.


***


Keinginan untuk memakan nasi tutug oncom tidak terlaksana, si pemesan justru jatuh tertidur setelah mandi. Gema tidur begitu nyenyak, lelah akibat bermain futsal, menemani Kinara, semuanya menguap di atas tempat tidurnya.

Sampai pukul sembilan malam, Gema terbangun dari tidurnya. Merenggangkan otot-ototnya dan duduk bersila di atas tempat tidur.

"Jam sembilan," gumam Gema saat melirik jam digital di samping tempat tidur.

Menyeret kakinya menuju kamar mandi untuk membasuh muka sekaligus berwudhu, Gema berniat melaksanakan salat isya. Gara-gara ketiduran ia melewatkan salat magrib dan isya.

Selepas salat, Gema merapikan sajadahnya dan meletakkan di atas kursi belajarnya.

"Ponsel gue mana, ya?" Gema membolak-balikkan bantal dan selimut bergambar animasi Detektif Conan, mencari benda pipih dengan logo apel bekas gigit.

Saat sibuk membongkar tempat tidur, tiba-tiba suara ponselnya terdengar. Gema berbalik, mendekati meja belajarnya di mana asal suara itu berasal. Tangannya bergerak cepat membuka tas sekolahnya dan mengambil ponselnya.

Om Surya

Nama papa Kinara terpampang di layar ponsel Gema. Jemari Gema bergerak cepat menggeser icon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Halo. Assalamualaikum, Om Surya," sapa Gema sopan.

"Waalaukumsalam, Gema. Maaf, Om ganggu kamu malam-malam."

"Om sama sekali nggak ganggu Gema. Gema justru senang ditelepon Om," balas Gema sambil duduk di kursi.

"Syukurlah. Kamu apa kabar, Ge?"

"Alhamdulillah sehat, Om. Om sama Tante sehat juga, kan?"

"Sehat, Ge. Kemarin Om sempat teleponan sama Papa dan Mama kamu. Sempat tanya-tanya kabar juga. Mereka di Bandung, ya?"

"Iya, Om. Tapi udah balik ke Jakarta kok."

"Iya. Ge, Kinara nggak ngerepotin kamu, kan?"

"Kok, Om nanyanya gitu? Mau Kinara ngerepotin atau nggak, Gema sama sekali nggak keberatan. Kinara itu tanggung jawab Gema," ucap Gema tegas. Sungguh, Gema sama sekali tidak keberatan. Ia justru senang karena mengemban amanah menjaga gadis pujaannya.

"Kinara itu manjanya minta ampun, Ge. Om sama Tante takut kamu kewalahan sama dia. Dia itu nggak bisa apa-apa sendiri, suka ngambek kalau maunya nggak diturutin," tutur Surya di seberang sana.

Gema tersenyum. Pikirannya melayang saat ia melarang Kinara memesan ketoprak dengan level pedes. Wajah gadis itu langsung cemberut, meski begitu Gema tidak luluh.

"Ge, Om mungkin akan egois. Tapi Om lakukan ini karena hanya kamu yang bisa Om dan Tante percayakan untuk menjaga Kinara. Gema kalau suatu saat nanti kamu punya pacar, Om harap kamu masih peduli sama Kinara. Masih bersedia menjaga dan menemani Kinara," ujar Surya dengan suara lirih.

Gema terdiam. Matanya menatap lurus potret dirinya dan Kinara yang berboncengan sepeda. Foto yang diambil oleh papanya Gema ketika dua keluarga itu berlibur bersama di Mandalika.

Hanya Kinara yang Gema izinkan untuk menempati hati Gema.

"Dengan izin Om dan Tante, Gema akan menjaga Kinara. Menjadikannya prioritas bukan hanya sekadar formalitas karena terikat janji sama Om dan Tante," balas Gema mantap.

"Semua beban di pundak Om rasanya lenyap mendengar pernyataan kamu, Gema. Makasih, ya, udah selalu ada untuk Kinara."

Gema memejamkan mata, membiarkan setetes air mata membasahi pipinya. "Om, Gema mohon. Jangan bilang makasih untuk apa yang Gema lakukan untuk Kinara. Sungguh, Gema ikhlas melakukannya."

Bohong! Gema tidak ikhlas. Sebab ia mengharapkan sesuatu yang lebih, cinta dan hati Kinara untuk dirinya. Tapi Gema rasa itu pantas karena hanya Kinara yang pas dengannya.

"Tapi Om akan tetap mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah bersedia menggantikan Om menjaga Kinara."

Dada Gema sesak rasanya, bukan karena beban yang dipikulnya melainkan rasa bahagia karena menerima kepercayaan penuh dari orang tua Kinara.

Bahkan, hingga pembicaraannya dan papanya Kinara berakhir, Gema hanya mampu menatap layar ponselnya. "Kinara, kapan lo peka sama perasaan gue?" gumam Gema lemah.





Gemara [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang