Penolakan Kinara

66 9 30
                                    


Waktu istirahat adalah waktu paling ditunggu-tunggu seantero sekolah. Di mana para murid bisa bersantai, makan, tiduran, rebahan, kayang, melayang, tiarap, tengkurap, dan masih banyak lagi hal-hal gaib yang mungkin bisa dilakukan para murid saat jam istirahat.

Kelas XII IPA 2 sudah hampir kosong sejak lima menit bel istirahat berbunyi, tas-tas dengan berbagai brand ternama tersusun rapi di atas meja para murid.

Suara grasak-grusuk yang ditimbulkan oleh gesekan antara kotak bekal dan permukaan meja menimbulkan suara nyaring. Dua gadis manis pencinta makanan tengah sibuk menata makan siang mereka di atas meja.

"Bel, perut aku bakalan sejahtera kalau setiap hari makannya kayak gini," celetuk Kinara dengan penuh semangat. "Ini chicken katsu-nya enak banget, Bel. Empuk banget dagingnya. Kok, bisa seenak ini masakan Mama kamu?"

"Ditelan dulu makanannya baru ngomong." Tangan Abel dengan lihai menggunakan sumpit, mengangkat satu potong cumi sambal hijau daun kemangi dan menjatuhkannya di atas lidahnya.

"Hem," gumam Kinara dengan mulut bergerak penuh. Pelan-pelan ia telan chicken katsu-nya dan melanjutkan pertanyaannya. "Eh, kamu belum jawab pertanyaan aku, lho, Bel. Ini resepnya apa, sih, sampai seenak ini?"

Ad sedikit decakan malas keluar dari bibir Abelima Raihana. "Aku nggak tahu, Ki. Aku, kan, nggak pernah ada di dapur pas Mama masak. Kerjaanku kalau di rumah itu belajar, makan, tidur, sama main aja. Mama sama Papa nggak bolehin aku masak."

Kinara menatap tak percaya. Mana mungkin ada orang tua yang tidak ingin anaknya menyentuh dapur. Setahunya, semua anak gadis harus dan wajib bisa masak tidak peduli jika mereka terlahir dari keluarga tajir melintir.

"Ih, kok, gitu? Bukannya perempuan itu harus tahu masak, ya? Kita itu bakalan jadi Ibu rumah tangga, Bel. Harus bisa masak untuk suami, anak, dan , oh, mertua juga," terang Kinara , wajahnya tampak berpikir keras, mengingat apa saja yang dikatakan neneknya tentang tugas seorang perempuan. "Perempuan itu kalau udah nikah, udah berkeluarga, harus pandai soal masalah dapur. Katanya, di sanalah kita bisa menaklukkan hati laki-laki."

"Anjir!" teriak Abel, matanya mendelik tajam. "Itu pikiran kolot, Ki. Sekarang tuh, zaman udah berubah. Memasak nggak harus dilakukan seorang perempuan ketika menikah, Ki. Kita bisa pakai ART."

Sembari sibuk mengunyah chicken katsu, Kinara berusaha mencerna penjelasan Abel.  Sejujurnya, Kinara juga sepakat dengan sahabatnya itu, tetapi di satu sisi ia juga tidak bisa menampik bahwa tugas utama seorang perempuan itu mengurus keluarganya jika sudah menikah nanti. Karena di keluarga Kinara, mau setinggi apa pun pendidikan seorang perempuan, memasak adalah hal yang wajib.

Baru saja Kinara ingin melontarkan kembali argumennya, suara ketukan di pintu kelas membuyarkan isi kepalanya.

Abel dan Kinara serempak menoleh ke arah pintu kelas, sosok laki-laki bertubuh jangkung, berambut cepak dengan senyum simpul memandang Kinara dan Abel. "Sorry, aku ganggu, ya?" tanya si laki-laki itu tak enak.

"Nggak sama sekali, Kak Alvin," kata Kinara dengan senyum lebarnya.

"Ayo, Kak. Gabung sama aku dan Kinara." Tak kalah ramah, Abel pun menyambut teman kekasihnya itu.

Mendapat respon baik, Alvin melangkah lebar ke arah Kinara dan Abel, menarik kursi dan duduk di sebelah Kinara.

"Kalian bawa bekal sendiri?" Ada rasa tak percaya, karena menurut Alvin membawa bekal untuk ukuran anak SMA itu sesuatu yang memalukan. Kayak anak kecil.

"Memangnya kenapa? Bekal dari rumah lebih sehat, Kak," sahut Abel sembari kembali menyantap cumi sambal hijau daun kemanginya.

"Dan uang jajannya bisa ditabung," sambung Kinara. "Oh, iya. Kak Alvin ada perlu apa ke sini?"

Mengingat tujuannya datang ke kelas elit itu, Alvin langsung mengeluarkan dua tiket nonton dari saku celananya. Meletakkan di atas tangan Kinara.

"Eh, ini maksudnya apa, Kak?" Kinara tampak linglung. Matanya mengerjap pelan, membaca tulisan kecil yang tertulis di atas. "KKN di Desa Penari," gumam Kinara.

"Mau nonton bareng aku?" Langsung, tanpa basa-basi pertanyaan itu membuat Kinara blank sesaat.

Anjir! Gercep banget. Abel pura-pura sibuk dengan makanan di hadapannya, tapi kedua telinganya sibuk mendengarkan.

Kinara tampak diam. Matanya masih tertuju pada dua lembar tiket nonton film horor terbaik Indonesia itu.

"Kenapa? Kamu nggak suka film horor? Aku bisa ganti kok. Kamu maunya film apa?" tanya Alvin, matanya terus menatap Kinara yang tertunduk. "Ki, ada apa?" Alvin dengan berani menggenggam tangan Kinara.

Kinara menarik tangannya, seulas senyum tersungging di bibirnya saat tatapannya tertuju pada Alvin. "Maaf, Kak. Kinara bukan nggak suka sama filmnya tapi Kinara nggak bisa pergi sama Kak Alvin tanpa seizin Kak Gema."

Alvin mengernyitkan dahi. Sedikit tak paham dengan ucapan Kinara yang membawa Gema dalam pembicaraan mereka. "Kenapa harus izin sama Gema, Ki? Dia itu cuman teman dan tetangga kamu, kan?"

"Kinara itu tanggung jawab Kak Gema," tukas Abel, "jadi, apa pun yang menyangkut Kinara harus berurusan lewat Kak Gema."

Kernyit di dahi Alvin menghilang, laki-laki itu menyeringai sinis. Rasanya benar-benar tidak masuk akal jika semua hal tentang Kinara harus melewati Gema.

"Kak Gema adalah orang yang Papa dan Mama percayakan untuk menjaga Kinara, Kak. Jadi, apa pun yang Kinara lakukan harus sepengetahuan Kak Gema. Kinara akan ikut nonton bareng Kak Alvin kalau Kak Gema memberikan izin," jelas Kinara, matanya menunjukkan keseriusan yang mendalam.

"Oke. Aku akan ngomong langsung ke Gema. Yaudah, aku balik dulu." Alvin mengusap kepala Kinara, dan berjalan ke luar kelas dengan perasaan dongkol.


***


"Bisa berhenti senyum-senyum nggak? Kamu kayak orang gila tahu."

"Biarin." Kinara mengangkat tinggi-tinggi dua tiket nonton yang diberikan Alvin, laki-laki yang sudah lama ia sukai. Ya, meski keduanya tidak jadi menonton, tapi Kinara tetap bersorak gembira. "Aku senang banget Bel dapat tiket nonton dari Kak Alvin. Ini kali, ya, yang namanya rezeki anak shalihah?"

Abel memutar bole matanya, menghadapi Kinara yang tengah kasmaran memang sedikit menjengkelkan. Meski begitu Abel tetap sibuk mengunyah potongan demi potongan cumi sambal hijau daun kemangi kesukaannya.

"Makan, Ki. Jangan hanya karena perhatian manis dari Kak Alvin kamu jadi melupakan rezeki dari Allah," ujar Abel sembari mendorong pelan bagian Kinara, chicken katsu yang sudah hampir habis.

"Ya ampun, Bel. Aku nggak mungkin ngelupain makanan. Ini tuh, salah satu bagian paling terpenting di hidup aku," sela Kinara, ia memang benar-benar pencinta makanan. Setiap ditanya apa kesukaannya, Kinara selalu menjawab dengan lantang, makanan.

"Apa aku juga termasuk bagian terpenting di hidup kamu, Kinara?

"Penting. Eh?!" Kinara langsung memutar tubuhnya, terkejut dengan kehadiran Gema yang tengah berdiri menatapnya. "Kak Gema kok udah balik dari kantin?"

Gema mengabaikan pertanyaan Kinara, ia justru mendekati gadis itu dan langsung mencomot chicken katsu terakhir Kinara. "Udah bel masuk, Kinara," ujar Gema.

Gemara [On Going]Where stories live. Discover now